Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Ketut Imaduddin Seorang Hakim yang Dirikan Pesantren Bali Bina Insani, Libur Saat Hari Besar Agama Hindu

Kompas.com - 02/03/2020, 12:33 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Ketut Immaduddin Djamal mendirikan Pondok Pesantren Bali Bina Insani Tabanan di Tabanan, Bali pada awal tahun 1990-an. Saat pertama kali bediri, pesantren tersebut hanya menampung tujuh siswa.

Ketut lahir di sebuah kampung Islam Pegayaman, Buleleng. Ia mendirikan pesantren karena dia merasa kondisi pendidikan dan pengasuhan umat Islam di Bali sangat minim.

Sebelum mendirikan pondok pesantren, Ketut mengaku sering mendengar cerita umat Islam di Bali kesulitan menyekolahkan anaknya di bidang agama.

Mereka terbentur masalah ekonomi karena untuk mondok harus ke luar Bali, yakni ke Jawa dan Lombok.

Baca juga: Toleransi dalam Pondok Pesantren di Bali yang 50 Persen Gurunya Beragama Hindu

Pada tahun 1991, saat megisi pengajian di sebuah komunitas muslim asal Sulawesi Selatan di Denpasar, seorang peserta menanyakan cara implementasi disampaikannya terkait umat, anak yatim dan sebagainya.

"Saya tertampar di sana. Saya kemudian mulai melihat-lihat untuk membuat sebuah lembaga pendidikan," katanya.

Saat itu seorang mualaf, istri seorang tentara menawarkan rumah seluar 4 hektare di Tabanan untuk dijadikn pondok pesantren. Untuk pertama kalinya ada 7 anak yatim piatu ditampung di pondok pesantren tersebut.

Baca juga: Gereja Katedral Jakarta Berharap Terowongan Silaturahim Mempererat Toleransi

"Kita bina mereka, anak-anak yatim ini. Rupanya setiap ada acara, mereka menonjol dengan maju berpidato dan bisa bahasa Arab dan Inggris sedikit-sedikit. Mereka dianggap hebat," ceritanya.

Jumlah santri setiap tahun bertambah dan lokasi pertama tak lagi bisa menampung. Pondok pesantren tersebut kemudian pindah ke lahan yang lebih luas pada tahun 1996.

Sekitar Agustus 1997, pondok pesantren mendirikan Madrasah Tsanawiyah dan pada tahun 2000 didirikanlah Madrasah Aliyah.

Pondok pesantren terus berkembang dan saat ini jumlah santrinya mencapai 420 orang yang didominasi dari Bali dan Lombok.

Baca juga: Belajar Toleransi di Banuroja, Desa Pancasila Penuh Damai di Indonesia

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com