Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi dalam Pondok Pesantren di Bali yang 50 Persen Gurunya Beragama Hindu

Kompas.com - 01/03/2020, 14:40 WIB
Kontributor Banyuwangi, Imam Rosidin,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

TABANAN, KOMPAS.com - Bali merupakan provinsi yang mayoritas penduduknya Hindu. Namun, di pulau ini, toleransi antarumat beragama sangat kental.

Seperti yang tergambar dari Pondok Pesantren Bali Bina Insani di sebuah desa dengan komunitas Hindu yang sangat kental.

Kompas.com berkesempatan menyambangi Ponpes yang beralamat di Desa Meliling, Kecamatan Karambitan, Kabupaten Tabanan, Bali, pada Sabtu (29/2/2020).

Baca juga: Kuliner Legendaris Khas Bali, Bisa Kamu Temukan di Sini...

Pesantren yang berdiri di area seluas 5 hektar ini menjadi potret nyata gambaran indahnya toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Ketika Kompas.com menyambanginya, kegiatan belajar mengajar di Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (MA) sedang diliburkan.

Rupanya, kegitan belajar diliburkan karena umat Hindu sedang merayakan hari besar keagamaan Kuningan.

Yuli Saiful Bahri, Kepala Biro Pendidikan Bali Bina Insani mengatakan memang hampir 50 persen tenaga pengajar di Ponpes ini beragama Hindu.

Ada sekitar 49 guru yang mengajar di Lembaga Pendidikan yang menerapkan konsep boarding school (asrama) ini.

Baca juga: Belajar Toleransi di Banuroja, Desa Pancasila Penuh Damai di Indonesia

Jadi, ketika hari-hari besar keagamaan Hindu, kegiatan belajar mengajar diliburkan.

"Ini adalah cara kami untuk menghormati para guru yang merayakan hari besar keagamaannya," kata Yuli, Sabtu siang.

Delegasi BDF IX berkunjung ke Pondok Pesantren Bali Bina Insani, Tabanan, Kamis(9/12/2016)KOMPAS.com/SRI LESTARI Delegasi BDF IX berkunjung ke Pondok Pesantren Bali Bina Insani, Tabanan, Kamis(9/12/2016)

Yuli mengatakan, sejak berdiri sekitar tahun 1991, Ponpes ini diterima baik oleh masyarakat setempat. Tak pernah ada sekalipun konflik atau penolakan dari masyarakat sekitar.

Sementara itu, Ni Made Suardani, salah satu guru beragama Hindu di Ponpes ini mengatakan selama mengajar tak pernah merasa dibedakan.

Kepada para siswanya, ia memang selalu mengajarkan untuk saling menghormati meski berbeda keyakinan.

"Toleransi yang kita ajarkan selama ini langsung dengan praktik bahwa kita walau berbeda agama tetap saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain," katanya Minggu (1/3/2020) siang.

Baca juga: Potret Toleransi di Jember, 8 Agama Ikut Hadir dalam Perayaan Imlek

Para santri di Ponpes ini menurutnya juga tak pernah membeda-bedakan antara guru Muslim dan Hindu.

"Bila bertemu baik di sekolah maupun di luar mereka selalu bersalaman dan mencium tangan kami," katanya.

Pendiri Pondok Pesantren Bali Bina Insani Tabanan, Ketut Imaduddin Djamal mengatakan sebagai putra asli Bali. D

ia mengaku sangat paham bagaimana budaya dan adat istiadat di Bali. Maka, ia ingin para santri di Ponpesnya menghargai dan kenal dengan budaya Bali. Sebab mereka hidup dan tinggal di Bali.

Menurutnya, perbedaan itu memang ada di dunia ini. Namun, bukan untuk dijadikan alasan bermusuhan atau perpecahan. Jadi kepada para santri sangat ditanamkan nilai untuk menghargai perbedaan.

"Di Islam juga kan diajarkan, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat buat sesama tanpa melihat ideologi, etnis, geografis, dan agama. Kita disuruh berbuat baik saja. Kalau kamu beebuat baik, maka kebaikan itu akan kembali pada kamu," katanya.

Selain itu, kepada para santrinya juga ditekankan agar berbaur dengan warga sekitar.

Misalnya, saat ada warga yang mendapat musibah seperti meninggal dunia, maka ditekankan untuk datang dan membantu sebisanya.

Kemudian, saat Idul Adha, Ponpes juga mengundang warga sekitar untuk ikut mengibung atau makan bersama di areal Ponpes.

"Saya hanya ingin santri tak terjerabut dari budaya Bali karena mereka hidup di Bali," kata mantan Ketua Pengadilan Agama Denpasar ini.

Djamal lalu menceritakan awal mula pendirian Ponpes ini. Sebagai putra Bali yang lahir di sebuah kampung Islam Pegayaman, Buleleng, dia merasa kondisi pendidikan dan pengasuhan umat Islam di Bali sangat minim.

Baca juga: Potret Toleransi di Madiun, Pemuda Muslim dan Wawali Kota Bagi Jeruk dan Donat di Gereja

Pria yang kini menjadi hakim di Pengadilan Tinggi NTB ini sering mendengar cerita umat Islam di Bali kesulitan untuk menyekolahkan anaknya di bidang agama.

Mereka terbentur masalah ekonomi karena untuk mondok harus ke luar Bali, yakni ke Jawa dan Lombok.

Kemudian, sekitar tahun 1991, dia mengisi pengajian di sebuah komunitas muslim asal Sulawesi Selatan di Denpasar.

Di sana, ada seorang warga yang menanyakan cara implementasi yang disampaikannya terkait umat, anak yatim dan sebagainya.

"Saya tertampar di sana. Saya kemudian mulai melihat-lihat untuk membuat sebuah lembaga pendidikan," katanya.

Hingga akhirnya ada seorang ibu mualaf yang merupakan istri seorang tentara menawarkan rumah seluar 4 hektar di Tabanan untuk dijadikan Ponpes.

Pertama, ada sekitar 7 anak yatim piatu yang ditampung di Ponpes tersebut.

"Kita bina mereka, anak-anak yatim ini. Rupanya setiap ada acara, mereka menonjol dengan maju berpidato dan bisa bahasa Arab dan Inggris sedikit-sedikit. Mereka dianggap hebat," ceritanya.

Seiring berjalannya waktu, jumlah santri terus bertambah dan banyak orang tua yang ingin menitipkan anaknya. Karena tempat pertama sudah tak cukup, maka Ponpes dipindah ke lahan yang lebih luas pada 1996.

Ponpes ini kemudian semakin berkembang ketika Agustus 1997 didirikan Madrasah Tsanawiyah (SMP).

Kemudian menyusul pada 2000 didirikan Madrasah Aliyah. Hingga, Ponpes ini terus berkembang sampai saat ini.

Kini jumlah santrinya sudah mencapai 420 orang yang didominasi dari Bali dan Lombok.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com