Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Toleransi dalam Pondok Pesantren di Bali yang 50 Persen Gurunya Beragama Hindu

Kompas.com - 01/03/2020, 14:40 WIB
Kontributor Banyuwangi, Imam Rosidin,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

Selain itu, kepada para santrinya juga ditekankan agar berbaur dengan warga sekitar.

Misalnya, saat ada warga yang mendapat musibah seperti meninggal dunia, maka ditekankan untuk datang dan membantu sebisanya.

Kemudian, saat Idul Adha, Ponpes juga mengundang warga sekitar untuk ikut mengibung atau makan bersama di areal Ponpes.

"Saya hanya ingin santri tak terjerabut dari budaya Bali karena mereka hidup di Bali," kata mantan Ketua Pengadilan Agama Denpasar ini.

Djamal lalu menceritakan awal mula pendirian Ponpes ini. Sebagai putra Bali yang lahir di sebuah kampung Islam Pegayaman, Buleleng, dia merasa kondisi pendidikan dan pengasuhan umat Islam di Bali sangat minim.

Baca juga: Potret Toleransi di Madiun, Pemuda Muslim dan Wawali Kota Bagi Jeruk dan Donat di Gereja

Pria yang kini menjadi hakim di Pengadilan Tinggi NTB ini sering mendengar cerita umat Islam di Bali kesulitan untuk menyekolahkan anaknya di bidang agama.

Mereka terbentur masalah ekonomi karena untuk mondok harus ke luar Bali, yakni ke Jawa dan Lombok.

Kemudian, sekitar tahun 1991, dia mengisi pengajian di sebuah komunitas muslim asal Sulawesi Selatan di Denpasar.

Di sana, ada seorang warga yang menanyakan cara implementasi yang disampaikannya terkait umat, anak yatim dan sebagainya.

"Saya tertampar di sana. Saya kemudian mulai melihat-lihat untuk membuat sebuah lembaga pendidikan," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com