Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ridwan Saidi Sebut Kerajaan Galuh Fiktif, Guru Besar Ilmu Sejarah Angkat Bicara

Kompas.com - 21/02/2020, 05:56 WIB
Candra Nugraha,
Farid Assifa

Tim Redaksi

CIAMIS. KOMPAS.com - Pemkab Ciamis mengadakan acara Gelar Usik Galuh (Silaturahmi Nanjeurkeun Galuh) untuk menyikapi pernyataan Budayawan Betawi, Ridwan Saidi yang menyatakan Kerajaan Galuh fiktif.

Acara tersebut digelar di aula Setda Kabupaten Ciamis, Kamis (20/2/2020).

Acara ini dihadiri narasumber yakni Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Prof Dr Nina Herlina, sejarawan senior Prof Sobana Hardjasaputra, Ketua Dewan Kebudayaan Ciamis Yat Rospia Brata dan seniman Budi Setiawan atau akrab disapa Budi Dalton.

Baca juga: Tak Lagi Diusik, Pemkab Ciamis Didesak Terbitkan Buku Sejarah Galuh

Bupati Ciamis, wakil bupati, tokoh agama dan masyarakat juga menghadiri acara ini.

Pada kesempatan itu, Nina Herlina mengatakan, ia mulai meneliti Kerajaan Galuh dan Pajajaran mulai tahun 1984. Saat itu, dia sedang membuat skripsi S1 di Unpad.

Nina juga membuat tesis dan disertasi di Universitas Gadjah Mada terkait kerajaan Galuh dan Padjajaran.

"Saya geluti dua kerajaan ini. Saya lulus cumlaude, kalau (Galuh) hoaks, gelar saya dipertanyakan," jelas dia.

Nina menyampaikan, tahun 2014 Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memintanya melaksanakan eskavasi di kompleks Astana Gede Kawali. Kemudian tahun 2015, Dedi meminta agar Nina meneliti Perang Bubat.

"(Sudah) diseminarkan (di tingkat) nasional. Ini membuktikan sejarah bahwa Kerajaan Galuh itu ada," jelas Nina.

Dia melanjutkan, kajian sejarah adalah bidang terbuka. Sedangkan ilmu sejarah dibagi dua kelompok yakni peminat sejarah dan sejarawan akademisi.

Nina menyampaikan, ada syarat keahlian yang dimiliki sejarawan akademis yang tak dimiliki peminat sejarah. Keahlian itu di antaranya harus menguasai metode sejarah, menguasai teori sejarah dan metodologinya.

"Ridwan Saidi bukan sejarawan (akademisi)," tegas Nina.

Dia menambahkan harus kuliah 11 tahun untuk menjadi doktor. Hal ini tidak mungkin dilakukan peminat sejarah.

Soal makna Galuh brutal

Ihwal Ridwan Saidi menyebut Galuh berarti brutal dalam bahasa Armenia, Nina balik tanya itu dari kamus mana. Tidak semua orang tahu kamus itu. "Saya saja belum melihatnya," ujarnya.

Baca juga: Kamis, Pemkab Ciamis Kumpulkan Sejarawan, Budayawan hingga Ulama Bahas Polemik Galuh

Jika peminat sejarah seperti Ridwan Saidi mengartikan Galuh brutal, kata Nina, maka sejarawan akademisi tidak bisa langsung mengatakan hal serupa. Sejarawan harus meneliti benda (prasasti), tulisan atau naskah-naskah.

"Ada naskah-naskah Sunda yang menyebut soal Galuh. Ridwan Saidi tidak baca ini," ucapnya.

Prasasti Tatar Sunda

Terkait prasasti, Nina menjelaskan Tatar Sunda hanya punya 30 prasasti sepanjang 1.500 tahun. Orang Sunda, kata dia, bukannya malas melainkan kultur budaya Sunda yang kehidupannya berladang atau berpindah-pindah sehingga tidak memiliki candi besar. 

"Oleh karenanya ibu kota Galuh berpindah-pindah. Makanya tak ada candi besar di sini," jelas Nina.

Seorang sejarawan akademisi juga harus menguasai sejumlah interpretasi, di antaranya interpretasi verbal, logis, psikologis, faktual hingga teknis.

Ketika Ridwan Saidi bicara Galuh berarti brutal, kata Nina, itu termasuk interpretasi verbal.

"Dia harus melakukan interpretasi logis. Dia harus berpikir, masak orang Galuh memberi nama kerajaannya brutal," ujar Nina.

Terkait prasasti Galuh disebut palsu, Nina menjelaskan, saat penelitian ia melibatkan doktor arkeolog dan ahli geologi di timnya.

Kata Nina, yang bisa membaca prasasti bukan sejarawan, tapi arkeolog.

"Mereka melihat guratannya, huruf dan tulisan," jelas Nina.

Menurut dia, prasasti Kawali ada enam. Yang lima disinggung dalam buku History of Java karya Thomas Raffles.

"Rafles menulis di Kawali ada prasasti," katanya.

Terkait pelabuhan niaga, Nina mengatakan, ada temuan keramik dari masa Dinasti Ming di sekitar Astana Gede Kawali. Dinasti tersebut ada pada abad ke 13 hingga 14.

Dia mengajak ahli geologi untuk mencari dari mana asal masuknya keramik tersebut. Hasil penelitiannya, barang tersebut datang dari Pelabuhan Cimanuk di daerah Pantai Utara.

"Ada jalur perdagangan internasional sampai Kawali. Ada tesisnya. Ini pelabuhan milik Kerajaan Galuh," kata Nina.

Nina mengatakan, Kerajaan Galuh dibangun tahun 732 setelah Kerajaan Tarumanagara runtuh.

Kerajaan Tarumanagara sendiri berdiri pada abad ke empat dan berakhir abad ke tujuh.

Sejarawan senior yang pernah meneliti Kerajaan Galuh, Prof Sobana menegaskan kerajaan Galuh secara faktual memang ada. Ada sejumlah peninggalan sejarah yang merujuk berdirinya Kerajaan Galuh.

"Tak bisa dipungkiri. Ada prasasti di Astana Gede Kawali," jelasnya.

Baca juga: Kapolres Ciamis: Menurut Ahli Bahasa, Ucapan Ridwan Saidi soal Galuh Masuk Unsur Pidana

Prasasti di Astana Gede menggunakan huruf Sunda kuno. Masyarakat tidak ada yang mengetahui huruf Sunda kuno ini karena menggunakan huruf Sunda cacarakan.

Ihwal Galuh diartikan brutal, Sobana mengatakan, pengertian Galuh dalam bahasa Sansakerta adalah permata. Dalam bahasa Sunda, Galuh diidentikan dengan galeuh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com