Saat pertemuan di sekolah eyang, para sesepuh itu saling berbagi informasi tentang perkembangan anak. Tingkah laku anak yang kurang elok menjadi bahan diskusi untuk diselesaikan bersama.
“Misal, salah satu dari mereka menemukan anak yang berperilaku kurang baik. Mereka menyampaikannya dalam sekolah eyang dan tidak boleh marah bila ditegur,” kata Ciciek.
Semangat mengasuh anak secara gotong royong itu yang membuat hak anak terpenuhi. Mereka terus berkembang seiring perjalanan waktu, banyak orang tua semakin memahami cara mengasuh anak yang benar.
Kembangkan Pangan Sehat Penuhi Kesehatan Anak
Farha Ciciek sadar kesehatan menjadi kunci utama perkembangan anak. Kampung Tanoker juga mengembangkan pangan sehat dengan memanfaatkan sayuran dan buah yang ada di sekitar Ledokombo.
Pengolahan makanan tak boleh menggunakan bahan kimia, seperti pengawet, pewarna, dan lainnya.
Ciciek mengatakan, masyarakat Ledokombo sebelumnya tak bisa lepas dari makanan yang mengandung bahan kimia. Mereka ketergantungan terhadap makanan instan.
“Mereka juga tidak lepas makanan yang serba micin,” terang dia.
Tanoker pun memutar otak memperbaiki itu. Kampung belajar itu mengadakan diskusi kelompok mempertemukan guru dan orangtua untuk membahas pangan sehat.
Tanoker juga mengampanyekan gerakan revolusi dapur, karena tak gampang mengubah pola pikir masyarakat setempat.
“Hidup sehat bermula dari dapur yang sehat,” ujar dia.
Melalui forum anak Ledokombo yang digagas Tanoker, anak-anak ikut rapat musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa hingga kabupaten.
Baca juga: Kekurangan Guru SD, Babinsa Mengajar Baca Tulis di Merauke
Anak-anak itu berhasil mewujudkan kantin sehat di sekolah.
“Anak-anak diajak menjadi konsumen kritis,” terang dia.
Melalui proses pemberdayaan itu, anak-anak buruh migran terus berkembang. Bahkan, orang tuanya yang dulu menjadi TKI, sekarang pulang dan tidak kembali lagi. Mereka memilih bekerja di desa dan mengasuh anak-anaknya.