JEMBER, KOMPAS.com – Setiap Minggu, anak-anak Desa Ledokombo selalu berkumpul dan bermain permainan tradisional di Kampung Belajar Tanoker di Desa Ledokombo.
Para bocah itu merupakan anak-anak buruh migran. Mereka diasuh kakek dan nenek karena orangtua mengadu nasib menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Salah satu anak, Mutiara Cahya Nurani, sedang sibuk bermain dengan kawan-kawan lainnya. Mutiara mengaku rutin mengunjungi Kampung Belajar Tanoker.
“Setiap minggu belajar dan bermain di sini,” kata Mutiara kepada Kompas.com di lokasi, Minggu (16/2/2020).
Baca juga: Kalau Berani Daftar Sekolah, Sudah Siap Menyeberangi Kali Wae Lengger dan Berjalan Kaki 3 Km
Mutiara dan kawan-kawan terlihat asik bermain hula hoop, gasing, membaca buku, dan belajar menari. Anak-anak itu dibina pasangan suami istri, Suporahardjo dan Farha Ciciek, pendiri Kampung Belajar Tanoker.
Saking nyamannya, Mutiara dan kawan-kawan menganggap Kampung Belajar Tanoker bak rumah sendiri.
“Di sini sudah seperti rumah sendiri bagi kami,” ucap dia.
Pendiri Kampung Belajar Tanoker, Ciciek, sengaja mendirikan kampung belajar untuk memfasilitasi anak-anak buruh migran yang tak punya akses pendidikan layak.
Anak-anak yang ditinggal orangtua merantau ke luar negeri itu tak terurus dengan baik. Mereka kehilangan arah.
“Dulu banyak anak-anak yang nikah muda, mabuk-mabukan, obat-obatan dan makan mereka tidak sehat,” kata Ciciek.
Bagi Ciciek, tanoker punya makna yang dalam. Dalam bahasa Madura, Tanoker berarti kepompong. Sebuah fase yang dilewati ulat sebelum menjadi kupu-kupu.
Kampung belajar Tanoker bermula dari tiga egrang yang dimainkan anak-anak di kaki bukit Ledokombo pada 2009.
Tiga alat permainan tradisional itu menjadi magnet bagi anak-anak desa. Mereka berdatangan ke rumah Ciciek untuk bermain egrang.
“Semakin lama semakin banyak anak-anak yang tertarik bermain egrang,” tutur dia.
Semakin banyak anak-anak yang bermain egrang, Ciciek tergerak membentuk kampung belajar.