Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Anak Buruh Migran di Bawah "Atap" Kampung Belajar Tanoker

Kompas.com - 20/02/2020, 19:40 WIB
Bagus Supriadi,
Dheri Agriesta

Tim Redaksi

JEMBER, KOMPAS.com – Setiap Minggu, anak-anak Desa Ledokombo selalu berkumpul dan bermain permainan tradisional di Kampung Belajar Tanoker di Desa Ledokombo. 

Para bocah itu merupakan anak-anak buruh migran. Mereka diasuh kakek dan nenek karena orangtua mengadu nasib menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Salah satu anak, Mutiara Cahya Nurani, sedang sibuk bermain dengan kawan-kawan lainnya. Mutiara mengaku rutin mengunjungi Kampung Belajar Tanoker.

“Setiap minggu belajar dan bermain di sini,” kata Mutiara kepada Kompas.com di lokasi, Minggu (16/2/2020).

Baca juga: Kalau Berani Daftar Sekolah, Sudah Siap Menyeberangi Kali Wae Lengger dan Berjalan Kaki 3 Km

Mutiara dan kawan-kawan terlihat asik bermain hula hoop, gasing, membaca buku, dan belajar menari. Anak-anak itu dibina pasangan suami istri, Suporahardjo dan Farha Ciciek, pendiri Kampung Belajar Tanoker.

Saking nyamannya, Mutiara dan kawan-kawan menganggap Kampung Belajar Tanoker bak rumah sendiri.

“Di sini sudah seperti rumah sendiri bagi kami,” ucap dia. 

 

Pendiri Kampung Belajar Tanoker, Ciciek, sengaja mendirikan kampung belajar untuk memfasilitasi anak-anak buruh migran yang tak punya akses pendidikan layak.

Anak-anak yang ditinggal orangtua merantau ke luar negeri itu tak terurus dengan baik. Mereka kehilangan arah.

“Dulu banyak anak-anak yang nikah muda, mabuk-mabukan, obat-obatan dan makan mereka tidak sehat,” kata Ciciek.

Bagi Ciciek, tanoker punya makna yang dalam. Dalam bahasa Madura, Tanoker berarti kepompong. Sebuah fase yang dilewati ulat sebelum menjadi kupu-kupu.

 

Kampung belajar Tanoker bermula dari tiga egrang yang dimainkan anak-anak di kaki bukit Ledokombo pada 2009. 

Tiga alat permainan tradisional itu menjadi magnet bagi anak-anak desa. Mereka berdatangan ke rumah Ciciek untuk bermain egrang.

“Semakin lama semakin banyak anak-anak yang tertarik bermain egrang,” tutur dia. 

Semakin banyak anak-anak yang bermain egrang, Ciciek tergerak membentuk kampung belajar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com