Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi, Predikat Kota Layak Anak dan Kasus Bully Siswa SMPN 16 Malang

Kompas.com - 14/02/2020, 06:26 WIB
Andi Hartik,
Dheri Agriesta

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com - Kasus bully di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 16 Kota Malang menjadi ironi karena status kota layak anak kategori madya yang disandang kota tersebut.

Berdasarkan data di situs resmi Pemerintah Kota Malang, malangkota.go.id, daerah yang dikenal dengan kota bunga dan kota pendidikan itu mendapat predikat kota layak anak sejak 2017.

Predikat dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu bertahan hingga 2019.

Baca juga: Teman dan Kakak Kelas Mengaku Iseng Banting Siswa SMPN 16 Malang di Pot dan Paving

 

Pada tahun 2018 dan 2019, Kota Malang mendapat predikat kota layak anak kategori madya. Kategori madya berada di level 2 dari lima kategori yang ada.

Tahun ini, Kota Malang menargetkan memperoleh kategori nindya.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menjelaskan, predikat itu tak membuat sebuah kota bebas dari kasus kekerasan terhadap anak.

Menurutnya, kasus yang melibatkan anak bisa saja terjadi tanpa diprediksi. 

Ia menegaskan kasus kekerasan terhadap anak bisa menghambat kenaikan predikat Kota Malang di masa depan.

“Tidak mendiamkan (kasus anak ditangani dengan baik) dan membangun sistem itu kan upaya membangun layak anak. Mudah-mudahan tidak mengganggu di sini, kalau memang Kota Malang mau naik ke (kategori) utama, mudah-mudahan dengan membangun sistem yang baru, melindungi lebih baik, bisa naik. Kalau tidak bisa (menangani dengan baik) jadi ini tidak naik tingkatan,” kata Retno di Balai Kota Malang, Kamis, (13/2/2020).

Sementara itu, Sekretaris Daerah Kota Malang WAsto meminta sekolah memabngun sistem pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan sekolah.

Sistem itu bisa dibangun dengan menerapkan standar operasional prosedur yang dipahami seluruh penyelenggara pendidikan.

Wasto mengatakan, sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Sekolah bisa menjadikan peraturan itu sebagai acuan. Aturan itu harus dipahami seluruh perangkat sekolah, mulai dari kepala sekolah hingga penjaga sekolah.

“Mengantisipasi kekerasan ini parameternya ada peraturan yang lebih tinggi, Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Turunkan itu menjadi SOP. Sehingga paham kalau ada gejala tertentu harus bagaimana dan kepada siapa,” katanya.

Tidak hanya itu, Wasto meminta sekolah membuat sistem pengaduan bagi siswa. Sekolah diminta memberikan kontak yang bisa dihubungi siswa jika menemukan atau mengalami kejadian tertentu di sekolah.

Sekolah, kata Wasto, bisa memberikan nomor telepon kepala sekolah, guru bimbingan konseling, hingga Dinas Sosial.

“Karena saat ini tidak ada yang namanya anak-anak SD sampai dengan SMA tidak punya telepon, rasanya tidak ada. Sehingga dengan demikian mudah-mudahan bisa dicegah secara dini,” ungkapnya.

Diketahui, kasus bully terjadi di SMPN 16 Kota Malang pada Rabu, 15 Januari 2020. MS (13), siswa kelas 7 SMPN 16 Kota Malang harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Lavalette Kota Malang akibat dibully temannya.

Baca juga: KPAI Minta Hak Rehabilitasi Korban dan Pelaku Bully di Malang Terpenuhi

Akibat aksi bully itu, MS harus rela jari tengah di tangan kanannya diamputasi.

Penyidik Polresta Malang Kota sudah menetapkan dua tersangka anak terkait kasus tersebut. Dua tersangka itu adalah WS, siswa kelas 8, dan RK, siswa kelas 7, di SMPN 16 Kota Malang.

 Pemerintah Kota Malang juga mengambil sikap tegas dengan memecat kepala sekolah dan wakil kepala sekolah SMPN 16 Malang akibat kasus ini. Mereka dinilai lalai mengawasi aktivitas kekerasan di sekolahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com