Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Sejarah Muara Kaman, Kecamatan yang Viral Sejak Muncul Raja Kutai Mulawarman

Kompas.com - 06/02/2020, 15:49 WIB
Zakarias Demon Daton,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

SAMARINDA, KOMPAS.com - Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur belakangan ramai jadi perbincangan publik.

Pasalnya, kecamatan berjarak 56,6 kilometer ini dari Tenggarong, ibu kota Kukar, mendadak viral setelah muncul Raja Iansyahrechza atau disapa Raja Labok yang memimpin perkumpulan Kerajaan Kutai Mulawarman di lokasi itu.

Sejarawan Kaltim, Muhammad Sarip, mengatakan pada abad kelima Masehi memang pernah berdiri kerajaan bernama Kutai Martapura di Muara Kaman.

Kerajaan ini disebut sebagai imperium pertama di Nusantara.

Baca juga: Tak Mau Disamakan dengan Sunda Empire, Kerajaan Mulawarman Tunjukkan SK Kemenkumham

Menurut prasasti Yupa, kata Sarip, pendirinya bernama Aswawarman Putra Kundungga.

Raja yang masyhur adalah penerus takhta Aswawarman yakni Maharaja Mulawarman.

Sumber batu bertulis yang ditemukan dan diteliti oleh ahli aksara hanya tujuh buah.

Baca juga: Raja Kutai Mulawarman: Kami Ingin Angkat Warisan Adat dan Budaya

Tidak ada catatan silsilah raja setelah Mulawarman sejak abad ke-5 sampai ratusan tahun kemudian.

"Tapi, informasi nama raja terakhir dapat diketahui dari kitab klasik Arab Melayu, Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara, yang selesai ditulis pada tahun 1849," ungkap Sarip saat ditemui di Samarinda, Kamis (6/2/2020).

Sarip mengatakan, raja penutup dinasti Mulawarman bernama Dermasatia.

Sejarawan lokal Kaltim Muhammad Sarip saat diwawancarai di ruang kerjanya Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari, Samarinda, Rabu (28/8/2019) KOMPAS.com/ZAKARIAS DEMON DATON Sejarawan lokal Kaltim Muhammad Sarip saat diwawancarai di ruang kerjanya Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari, Samarinda, Rabu (28/8/2019)
Pada 1635, ibu kota Kutai Martapura diagresi Kerajaan Kutai Kertanegara yang datang dari daerah Kutai Lama.

Muara Kaman melawan. Namun, Raja Dermasatia akhirnya terbunuh.

Sejak saat itu, Kutai Martapura runtuh lalu dianeksasi Kutai Kertanegara.

Setelah itu, Kutai Kertanegara menambahkan nama kerajaannya menjadi Kutai Kertanegara ing Martapura.

Monarki ini memindahkan ibu kotanya dari Jembayan ke Tenggarong pada 1782. Kota Tenggarong kini jadi ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara.

Kemudian, kekuasaan politik Kerajaan Kutai Kertanegara berakhir setelah 15 tahun Proklamasi Negara Indonesia 1945.

"Raja terakhirnya adalah Sultan Aji Muhammad Pasikesit pada tahun 1960," jelas dia.

Pada 2001 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menghidupkan kembali Kerajaan Kutai Kertanegara di Tenggarong, dengan menobatkan putra Sultan Pasikesit, yakni Aji Muhammad Salehuddin II sebagai Sultan.

Namun, fungsi kerajaan baru ini hanya sebagai sarana pelestari budaya, bukan pemilik otoritas politik seperti dahulu kala.

Nama kerajaannya juga tidak sama persis dengan nama tempo dulu.

Kini kerajaan itu bernama Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Terjadi perubahan vokal /e/ menjadi /a/ pada kata “kerta”. Lalu, ada penambahan suku kata “di” pada tengah kata “marta” dan “pura”.


Sementara itu, Kerajaan Kutai Martapura yang dulu berpusat di Muara Kaman tidak dihidupkan kembali.

Alasannya, eksistensi kerajaan ini sudah diunifikasi ke dalam Kerajaan Kutai Kertanegara.

Alasan lain, tidak ada sumber sejarah yang valid mengenai silsilah dari keturunan Raja Dermasatia.

"Seandainya pun pada masa kini ada yang mengklaim punya catatan akurat tentang silsilah keturunan Dermasatia, maka ia tetap tidak bisa dinobatkan sebagai raja Kutai Martapura yang baru," terang Sarip.

"Jika Kutai Martapura diaktifkan, maka akan ada dualisme raja dalam wilayah adat yang beririsan," sambungnya.

Baca juga: Kerajaan Nusantara Minta Polisi Usut Tuntas Kemunculan Raja-raja Gadungan

Karena Kerajaan Kutai Martapura tidak bisa dihidupkan kembali, sama halnya dengan Kerajaan Singasari, Majapahit, Demak, dan lain-lain yang runtuh karena agresi militer atau aneksasi kerajaan lain.

"Kedudukannya sudah di bawah Kesultanan Kutai Kertanegara. Ia mesti berkhidmat pada Sultan Kutai masa kini," tutur Sarip.


Menurut Sarip, persoalan akan berbeda jika ada sekelompok orang yang membentuk komunitas, yayasan, ormas, dan sejenisnya yang memakai nama raja-raja zaman purba atau kelaskaran zaman kerajaan.

Sebab menyangkut urusan hukum atau legalitas formal perkumpulan, bukan konteks legitimasi sejarah.

Selain itu, kelompok tersebut harus mempertimbangkan dan memerhatikan aspek kultur dan adat-istiadat yang berlaku dalam wilayah setempat, demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

"Kegiatan kelompok tersebut dibedakan dengan aktivitas pelestari budaya dan sejarah, sebagaimana yang dilakukan oleh para raja dan sultan yang terhimpun dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) dan Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN)," urai Sarip.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com