Istilah klitih marak di pemberitaan media sekitar tahun 2016.
Saat itu tercatat ada 43 kasus kekerasan yang melibatkan remaja. Per bulan rata-rata polisi menangani 3 kasus klitih.
Namun kriminal yang melibatkan remaja pernah muncul pada tahun 1990-an.
Di arsip Harian Kompas pada berita 7 Juli 1993, Kapolwil DIY yang saat itu dijabat oleh Kolonel (Pol) Drs Anwari menyebutkan bahwa polisi telah memetakan keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan aksi kejahatan di Yogyakarta.
Baca juga: Penyesalan Pelaku Klitih di Yogya, Usai Membacok, Pijat Orangtua
Lalu pada tahun 2000-an, Herry Zudianto yang menjabat sebagai Wali Kota Yogyakarta gerah dengan maraknya tawuran antarpelajar.
Ia pun menginstruksikan jika ada pelajar Yogyakarta terlibat tawuran, maka akan dikeluarkan dari sekolah dan dikembalikan ke orangtuanya.
Sosiolog Kriminal UGM Soeprapto mengatakan bahwa instruksi Herry terbukti ampuh meredam aksi tawuran karena beberapa geng pelajar kesulitan mencari musuh.
Baca juga: Menyelisik Awal Mula Munculnya Klitih di Yogyakarta...
Geng tersebut kemudian mencari musuh secara acak. Jika awalnya kekerasan terjadi karena balas dendam, saat ini motifnya menjadi lebih beragam.
Mereka juga menunjukkan eksistensi dengan campur tangan alumni atau pihak lain yang memiliki kepentingan.
Dengan melibatkan remaja atau anak-anak maka hukuman kejahatan yang dilakukan akan lebih ringan.
"Pihak tertentu itu ikut nimbrung supaya tujuannya tercapai, istilahnya bisa nabok nyilih tangan. Sebab kalau kejahatan dilakukan remaja atau anak-anak hukumanya ringan," kata Soeprapto, saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/1/2020).
Baca juga: Jadi Tersangka, Pria Penabrak 2 Remaja Klitih hingga Tewas di Yogyakarta
Soeprapto mengatakan kasus klitih banyak terjadi malam hari sehingga orangtua harus lebih ketat melakukan pengawasan pada anaknya.
Selain itu, Soeprapto juga menyebut pihak keluarga, sekolah, lembaga pendidikan, agama, dan kepolisian bisa duduk bersama untuk mencaro solusi.
"Fungsi perlindungan keluarga juga penting. Kalau dulu anak dianiaya sambatnya ke orang tua, tapi sekarang pada kelompoknya. Itu menandakan fungsi keluarga melemah," kata dia.
Sementara itu pemberitaan Harian Kompas pada 17 Maret 2017, Kapolda DIY saat itu, Brigjen Pol Ahmad Dofiri menyebut setidaknya ada 81 geng sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca juga: Aksi Klitih Terjadi di Bantul, Seorang Pemuda Alami Luka di Wajah
Jumlah itu terdiri dari 35 geng sekolah di Kota Yogyakarta, 27 geng sekolah di Kabupaten Sleman, 15 geng sekolah di Kabupaten Bantul, serta masing-masing 2 geng sekolah di Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul.
”Mereka (para remaja yang melakukan kekerasan) ini hidup dalam ikatan kelompok berupa geng baik di sekolah maupun di luar sekolah,” kata Dofiri
SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Ika Fitriana, Wijaya Kusuma | Editor: Caroline Damanik, Rizal Setyo Nugroho, Farid Assifa), Harian Kompas
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.