CEO sekaligus Co-Founder Crowde, Yohanes Sugihtononugroho mengatakan, saat ini jumlah petani yang bermitra dengan perusahaannya mecapai 22.000 orang, tersebar di Indonesia barat dan tengah.
“Untuk jumlah itu, dana yang terserap sekitar 8,3 juta dolar AS atau Rp 113 miliar,” ungkap Yohanes.
Yohanes mengakui, pertumbuhan pesat terjadi di tahun-tahun awal Crowde berdiri tahun 2016-2017. Saat itu, Crowde masih memberikan pembiayaan dalam bentuk uang langsung sekaligus.
Namun cara tersebut terlalu berisiko. Sebab ada petani yang menggunakan uang tersebut untuk motor baru malah istri baru.
Belum ditambah risiko pertanian yang besar. Mulai dari faktor cuaca, kekeringan, pembebasan hutan, harimau atau monyet masuk kebun mencari makan, hingga membuat petani gagal panen dan tidak mampu membayar utang.
Saat itu terjadi, 90 hari awal jatuh tempo, pihaknya renegoisasi. Namun jika lebih dari 90 hari belum bayar, akan diserahkan pada collector external hingga penyerahan aset.
“Dulu di awal-awal itu ada (petani) yang kabur,” ungkapnya.
Untuk menekan risiko gagal bayar, Crowde memberikan pinjaman ke kelompok tani agar bisa tanggung renteng. Crowde juga melihat kemampuan kelompok tersebut mengelola keuangan dan bekerjasama dengan Jasindo Syariah untuk mitigasi risiko.
“Sekarang pembiayaan tidak diberikan langsung. Kami bekerjasama dengan toko pertanian untuk pengadaan pupuk dan lainnya. Kami juga menggunakan sistem bagi hasil,” tutur Yohanes.
Baca juga: Kisah Amid, Dahulu Pemakai Narkoba, Kini Jadi Petani Berdaya