Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Populasi dan Habitat Orangutan di Lansekap Sungai Putri-Taman Nasional Gunung Palung

Kompas.com - 29/01/2020, 16:53 WIB
Hendra Cipta,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

Kebakaran itu diperparah dengan adanya lahan gambut di sejumlah titik di kawasan konservasi PT KAL maupun Hutan Desa Manjau.

Kasus teranyar dialami Jerit, orangutan jantan berusia 7 tahun yang ditemukan di kebun karet milik warga di Desa Kuala Tolak, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Sabtu (21/9/2019).

Jerit keluar dari habitatnya setelah terjadi kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut landscape Gunung Palung-Sungai Putri (TAGUPA) Ketapang.

“Awalnya pemilik kebun melapor bahwa ditemukan satu individu orangutan. Kita bersama BKSDA Kalbar segera ke sana untuk evakuasi,” kata Argitoe Ranting, Manager Lapangan IAR Indonesia, belum lama ini.

Selain sangat kurus dan mengalami dehidrasi, tim penyelamat juga menemukan luka membusuk yang melingkar di kaki kanan Jerit akibat lilitan tali jerat.

Setelah berhasil ditangkap dengan menggunakan bius, Jerit langsung dibawa untuk mendapat penanganan medis dari IAR Indonesia.

Mereka merawat dan mengobati Jerit agar kesehatannya pulih dan orangutan ini bisa dilepas kembali ke alam.

Menurut Argitoe, IAR Indonesia telah menjalin kerja sama yang baik dengan petani dan masyarakat di areal landscape Gunung Palung-Sungai Putri, termasuk Desa Laman Satong dan Kuala Satong.

Dua desa itu berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung, dulunya juga banyak hutan dan habitat orangutan.

Akibat pembukaan lahan yang dikonversi menjadi sawit dan kebakaran hutan, habitat orangutan semakin mengecil.

Saat musim kering di tahun 2019, kebakaran hutan di daerah Kuala Satong sangat luas dan menyebar.

Kebakaran habitat yang luas ini yang mendorong orangutan masuk ke kebun warga dan menimbulkan konflik manusia-orangutan.

Manager Orangutan Protection Unit IAR Indonesia, Catur Yuono menerangkan, pasca-kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Ketapang, mereka telah mengevakuasi sembilan individu orangutan di sejumlah wilayah.

“Untuk keseluruhan kasus, di tahun 2019 ini kita mengevakuasi sebanyak 14 individu orangutan.” Ucapnya.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Sadtata Noor mengatakan, hingga saat ini memang sudah banyak dilakukan tindakan penyelamatan orangutan.

Baik itu dari masyarakat masih memelihara atau bahkan berburu maupun dari ancaman perambahan serta kebakaran hutan dan lahan.

Namun, hal itu justru belum menggambarkan keberhasilan dalam memberikan habitat yang aman dan nyaman bagi mereka.

“Masih ada pekerjaan rumah besar yang harus dituntaskan bersama. Penyelesaian yang menyeluruh dan berkelanjutan,” kata Sadtata kepada Kompas.com pekan lalu.

Konflik dan kesadaran

Konflik orangutan atau pun satwa liar semakin meningkat.

Perlu ditingkatkan diskusi dan dialog untuk membuka hati dan pikiran seluruh pemangku kebijakan.

Selain itu, pembentukan pola pikir masyarakat terhadap perlindungan orangutan yang harus terus dilakukan.

“Yang penting itu merubah pola pikir. Jika tidak, kegiatan seperti penyelamatan orangutan dari rumah warga akan terus terjadi,” ucapnya.

Jadi target investor

Kabupaten Ketapang adalah wilayah terluas di Provinsi Kalimantan Barat. Daerah ini memiliki pantai memanjang dari selatan ke utara. Sebagian pantainya merupakan muara sungai dan rawa-rawa.

Kawasan sungai dan rawa-rawa ini terbentang dari Kecamatan Teluk Batang, Simpang Hilir, Sukadana, Matan Hilir Utara, Matan Hilir Selatan, Kendawangan hingga Pulau Maya Karimata.

Sementara daerah hulu, topografinya berbukit dan hutan.

Dengan berbagai sumber daya alamnya, Kabupaten Ketapang boleh dibilang “surga” bagi investor.

Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Kalimantan Barat, realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 2018 di Kabupaten Ketapang sebesar Rp 5,72 triliun atau 30,45 persen dari total jumlah investasi yang masuk ke Kalbar.

Jumlah investasi ini merupakan yang tertinggi di Kalbar, jauh meninggalkan Kabupaten Landak yang hanya Rp 1,41 triliun atau Kabupaten Kubu Raya yang sebesar Rp 1,03 triliun.

Lalu apa hubungan investasi dengan populasi dan habitat orangutan di Ketapang?

Tito Indrawan dari Forum Konservasi Orangutan Kalimantan Barat (FOKKAB) menilai, ancaman terbesar populasi dan habitat orangutan di Ketapang adalah tata ruang wilayah dan rancangan pembangunan jangka panjang dan menengah daerah yang “sangat ramah” terhadap investasi.

Dampaknya, jika semakin banyak investor yang masuk ke Ketapang, maka lambat laun lahan atau hutan di Ketapang akan beralih fungsi.

Akibat dari itu, orangutan dan bahkan seluruh satwa yang ada di dalamnya akan terusir dari habitat aslinya.

“Saya bukan bilang Pemda Ketapang tidak punya rencana konservasi, tapi mereka sudah terpatok pada kebijakan pemerintah pusat,” kata Tito.

Menurut dia, dalam 25 tahun mendatang, pembangunan dari sisi industri di Pulau Kalimantan seluruhnya akan dipindahkan dari Kalimantan Timur ke Kalimantan Barat.

Kemudian di Kalimantan Barat, pusat perindustrian nantinya berada di Ketapang.

“Di Ketapang, dalam rencana tata ruang dan wilayah, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, akan menjadi kawasan pengembangan industri. Di sana ada smelter bauksit, ada dua perusahaan perkebunan, dan lain-lain,” ucapnya.

Maka dari itu, kondisi ini mengindikasikan pentingnya Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) memegang mandat penuh untuk menyelamatkan orangutan dari berbagai ancaman, terutama terkait degradasi lahan.

Tito menerangkan, saat ini FOKKAB berfungsi sebagai simpul yang menyambung kebutuhan sesama pegiat konservasi orangutan. Hal ini sangat beralasan sebab anggota forum ini beranjak dari latar belakang yang berbeda.

“Di sini FOKKAB bertugas menjahit serpihan gerakan para anggotanya. Dengan demikian, lembaga ini dapat menjadi simpul informasi konservasi orangutan di Kalbar. Forum ini juga memegang peran penting dalam hal edukasi dan kampanye,” tutupnya.

Berharap pada KEE

Dalam dokumen policy brief yang diterbitkan Yayasan Tropenbos Indonesia pada Mei 2019 menyebutkan, Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) merupakan kategori baru ‘kawasan’ konservasi di Indonesia.

Kawasan ini membuka harapan baru bagi perlindungan hutan yang tersisa di luar kawasan konservasi.

Tahun 2016-2017, Dinas Kehutanan Kalimantan Barat bersama para pihak di tingkat regional dan nasional, menginisiasi pengembangan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).

Hal ini sesuai dengan mandat KLHK untuk membangun KEE sesuai target di masing-masing provinsi di Indonesia.

Di Kalimantan Barat, KEE yang sudah terbangun sampai tahun 2018, yaitu di Kabupaten Ketapang, Kapuas Hulu, Kuburaya dan Ketapang.

Di Kabupaten Ketapang diinisiasi oleh Yayasan Inisiasi Dagang Hijau (IDH).

Setelah melalui proses konsultasi publik yang melibatkan pemangku kepentingan, pada bulan November 2017 Gubernur Kalimantan Barat mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 718/2017 tentang penetapan KEE di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Dengan total luasan kawasan: 12.918,13.

Salah satu tujuan KEE di Ketapang adalah untuk membangun koridor orangutan dan satwa liar lainnya yang menghubungkan dua ekosistem yang dulunya tersambung (tetapi sejak awal tahun 2000 terputus karena konversi hutan sekunder menjadi kebun sawit) antara Hutan Rawa Gambut Sungai Putri dengan Taman Nasional Gunung Palung dan Hutan Lindung Gunung Tarak (Lansekap Putri-Tagupa)

Pada awalnya, pemangku kepentingan utama yaitu PT Kayung Agro Lestari dan PT Gemilang Makmur Subur begitu antusias dan penuh optimisme untuk mengelola KEE-nya sebagai koridor satwa liar.

Namun semangat tersebut memudar ketika PT Laman Mining yang telah berada di wilayah tersebut sejak tahun 2011 (namun sampai akhir 2017 belum beroperasi) mulai menyiapkan infrastuktur eksploitasi pada awal tahun 2018.

“Sebagian wilayah yang ditetapkan sebagai KEE baru disadari tumpang tindih dengan konsesi tambang PT Laman Mining (LM),” tulis dokumen tersebut.

Sekitar bulan Maret 2018, PT Laman Mining mulai melakukan pembukaan lahan di sebagianAreal Konservasi II atau High Conservation Valeu (HCV) seluas 2.330,88 hektar.

PT Laman Mining membangun jalan sepanjang 4 kilometer dengan 30 meter.

Jalan ini juga memotong areal konservasi yang dikelola oleh PT Gemilang Makmur Subur.

Kedua perusahaan itu berang dan kemudian melaporkan kasus ini kepada pemerintah di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional.

Pemerintah kemudian turun tangan untuk memediasi konflik yang kemudian disepakati untuk menyelesaikan permasalahan ini melalui pendekatan bussiness to bussiness.

PT Laman Mining akhirnya menghentikan kegiatan yang berdampak pada kerusakan ABKT dan akan melindungi dan merestorasi KEE.

Lorens Arang, Manajer Lanskap Yayasan Inisiasi Dagang Hijau (IDH) mengatakan, dalam mediasi yang dilakukan, muncul wacana untuk merekayasa lingkungan dengan membangun jembatan satwa di atas jalan tambang tersebut.

Namun hingga saat ini, jembatan satwa itu belum juga terwujud.

Penyebabnya, Forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) di tingkat Kabupaten Ketapang belum secara resmi terbentuk. Forum KEE baru terbentuk di tingkat provinsi.

“Sudah ada draft-nya, tinggal menunggu kata sambutan gubernur. Forum itu nantinya yang membuat rencana aksi,” kata Lorens.

Anas Nashrullah, Landscape Manager WWF Indonesia menilai, untuk menjaga dampak berkelanjutan dari pengelolaan yang sudah berjalan (praktik lebih baik) dalam pengelolaan keragaman hayati dan eksosistem, diperlukan kesamaan pandang semua pihak bahwa pengelolaan bentang alam tidak bisa dibatasi oleh adminitrasi perizinan.

Jika sepakat dengan kata kunci pengelolaan atau fitur pengelolaan adalah ekologi dan keragaman hayatinya, maka komitmen bisa dibangun secara bersama.

“Hal ini diperlukan untuk menjembatani kekurangan kewenangan dari masing masing pihak,” kata Anas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com