Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Populasi dan Habitat Orangutan di Lansekap Sungai Putri-Taman Nasional Gunung Palung

Kompas.com - 29/01/2020, 16:53 WIB
Hendra Cipta,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

KETAPANG, KOMPAS.com – Yohanes Terang masih terlihat gesit. Dengan menggunakan sepeda motor bututnya, dia menggilas ranting-ranting kering dan kerikil di Goa Maria Kiderun.

Gowa ini termasuk dalam kawasan Hutan Desa Manjau, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Desa Laman Satong berada di 73,5 kilometer dari Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Desa ini dikelilingi konsesi perusahaan swasta. Ada perkebunan sawit, pertambangan, juga perusahaan kehutanan.

Baca juga: Habitat Terusik Tambang dan Pembalakan Liar, Orangutan Masuk Kebun Warga di Kalbar

Akses darat menuju wilayah ini berbatu dan berlubang dengan waktu tempuh 2 sampai 3 jam perjalanan.

Yohanes memang sudah tak lagi muda, di tahun 2020 ini, usianya akan menjejak 64 tahun.

Namun bagi dia, usia lanjut tak berarti harus duduk diam di rumah menikmati hari tua.

Saban hari, dia selalu menyempatkan diri masuk hutan, turun naik bukit, memanen apa saja untuk sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Saya habis dari hutan yang berada di dekat rumah untuk mengambil durian,” kata Yohanes menunjukkan kebugarannya keluar masuk hutan kepada Kompas.com, begitu tiba di Goa Maria Kiderun, Sabtu (21/12/2019).

Yohanes Terang merupakan sosok kharismatik, setidaknya untuk masyarakat Laman Satong.

Setelah mengabdikan diri di Yayasan Esti Mulya Jakarta pada 1980, Yohanes menjadi kepala desa pertama bagi Desa Laman Satong.

Sejak itu, kiprahnya dalam menjaga ekosistem hutan dan lingkungan semakin nyata.

Satu di antaranya, bersama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), dia menggagas keberadaan Hutan Desa Laman Satong.

Setelah melalui pelbagai lika-liku, sebuah kawasan perbukitan yang termasuk hutan produksi dapat dikonversi (HPK) seluas 1.070 hektar ini secara sah ditetapkan sebagai Hutan Desa oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia berdasarkan SK 493/Menhut II/2011.

Menurut Yohanes, jika ada warga yang memiliki tanah dan masuk dalam kawasan hutan desa, maka mereka masih memiliki hak untuk mengelolanya.

Seperti misalnya, dia memiliki tanah seluas lima hektar yang masuk dalam Hutan Desa Manjau.

Namun, tanah itu tetap dibiarkan tanpa dikelola.

“Di hutan ini banyak satwa yang harus dilindungi, seperti misalnya orangutan. Nah, jika seluruh hutan dikelola, tentunya habitat mereka akan hilang,” ucapnya.

Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

Hutan desa bisa juga diartikan sebagai hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin atau hak.

Untuk pengelola kawasan di Hutan Desa Manjau, dibentuk sebuah lembaga yang ditetapkan melalui peraturan desa.

Namanya, Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa (LDPHD). Salah satu pembinanya adalah Yohanes Terang.

Yohanes menjelaskan, areal Hutan Desa Manjau meliputi zona lindung seluas 654 hektar dan zona rehabilitasi atau pemanfaatan seluas 416 hektar.

Penetapan hutan desa merupakan upaya lanjutan yang dilakukan warga untuk menjaga kawasan ini tetap hijau.

Buah jungkang, makanan favorit orangutan di areal konservasi PT Kayung Agro Lestari.KOMPAS.COM/HENDRA CIPTA Buah jungkang, makanan favorit orangutan di areal konservasi PT Kayung Agro Lestari.
Ini lantaran wilayah mereka kini dikepung konsesi perusahaan kelapa sawit, yakni PT Kayong Agro Lestari dan PT Gemilang Makmur Subur, serta satu perusahaan tambang bauksit, PT Laman Mining.

“Selain tetap menjaga kelestarian alam dan lingkungan, hutan desa ini juga memberi ruang untuk keberadaan sejumlah satwa endemik seperti orangutan, owa/kelampiau, lutung merah, dan rangkong,” tegasnya.

Pendekatan adat

Yohanes melakukan pendekatan adat dalam menjaga hutan desa.

Pendekatan ini kemudian dituangkan dalam peraturan desa tahun 2013, untuk mengatur pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan fungsi hutan.

Aktivitas terlarang di hutan desa adalah perambahan hutan.

Setiap pelanggar wajib menyiapkan tajau atau tempayan sebagai denda adat.

Satu tajau atau tempayan adat jika dinominalkan setara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta.

“Menjaga dan menghargai alam sudah menjadi tradisi kami sebagai masyarakat adat, khususnya Dayak Tolak Sekayu ini,” tuturnya,

Yohanes menyadari, ancaman lingkungan kian besar, maka dari itu, hutan desa sangat dibutuhkan, lantaran ia menjadi bagian dari hidup manusia.

Di dalamnya ada sumber air. Jika hutan hilang, hilanglah sumber air masyarakat.

Perjumpaan dengan orangutan menurun

Hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan Yohanes. Bagi dia, hutan dan seluruh isinya mutlak harus dijaga, dirawat dan dilindungi.

Merusak hutan, tidak hanya akan merusak rumah bagi keluarga yang menempatinya, tapi juga menghancurkan tempat tinggal anak cucu kelak.

Karena setiap hampir hari keluar masuk hutan sejak puluhan tahun yang lalu, Yohanes tentunya kerap menjumpai apapun satwa dan tumbuhan. Termasuk orangutan.

Namun, sepengetahuannya, hingga saat ini belum pernah dilakukan survei populasi orangutan.

Namun, dari laporan tim patroli, mereka sering menjumpai sarang.

"Kalau dulu, sering ketemu orangutan di sini (Hutan Desa Manjau). Apalagi ketika musim buah jungkang," ujarnya.

Yohanes tak pernah bosan mengingatkan warga-warga setempat untuk selalu menjaga hutan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com