Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Nelayan Natuna, Gali Lubang Tutup Lubang untuk Cari Ikan di Surga Bahari Perbatasan

Kompas.com - 29/01/2020, 15:16 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Kabupaten Natuna di provinsi Kepulauan Riau memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah, dari ikan, minyak hingga gas bumi.

Namun penduduknya mengaku tidak mudah bagi mereka untuk mencapai kemakmuran. Warga di Pulau Tiga Barat, misalnya, harus "gali lubang dan tutup lubang" bahkan berutang demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Pemerintah Indonesia berjanji untuk segera membangun fasilitas yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan nelayan Natuna secara komprehensif.

Baca juga: Kisah Nelayan Natuna Terasing di Laut Sendiri, Tali Pancing Rusak Ditabrak Kapal Asing

Berikut cerita sejumlah nelayan kepada BBC News Indonesia di Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Senin (13/1/2020).

Sudah dua hari, nelayan Pulau Tiga Barat, Hafis Sama, pergi ke laut mencari ikan.

Namun yang didapat hanya seekor ikan tongkol berukuran sekitar dua kilogram dengan harga kurang dari Rp 40.000.

Padahal, ia telah mengeluarkan uang lebih dari Rp 300.000 per hari untuk biaya operasional selama di laut, seperti untuk bahan bakar minyak, es untuk mengawetkan ikan, makanan dan minuman.

Baca juga: 22 Kapal Nelayan Pantura Siap ke Natuna, Tinggal Tunggu Lampu Hijau dari KKP

Nelayan tradisional Natuna Hafis Sama menceritakan sulitnya mendapatkan ikan di perairan Natuna karena keterbatasan kapal dan teknologi memancing. BBC Indonesia/Haryo Wirawan Nelayan tradisional Natuna Hafis Sama menceritakan sulitnya mendapatkan ikan di perairan Natuna karena keterbatasan kapal dan teknologi memancing.
Di hari ketiga, Hafis yang memiliki kapal berukuran kurang dari setengah gross tonnage (GT) itu pun memutuskan untuk tidak melaut.

"Kita tekor, tongkol tidak ada. Padahal kita bon (berutang) dulu minyaknya," kata Hafis.

Hafis yang tamatan sekolah dasar itu mengungkapkan pernah berutang hingga 100 liter bahan bakar kepada agen minyak karena tidak mendapat hasil ikan yang cukup.

"Tapi, kalau tidak pergi (melaut) tidak mungkin. Ya itulah (akhirnya) utang terus," kata Hafis yang melaut maksimal sejauh 20 mil.

Baca juga: Mahfud MD Tolak Tawaran Bantuan Dubes AS untuk Atasi Persoalan Natuna

Ia mencicil untuk melunasi utangnya. Untungnya, kata Hafis, tidak ada bunga atas utang tersebut.

Istri Hafis, Bariah mengatakan selain utang untuk keperluan melaut, mereka sering mengutang ke warung untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

"Kadang (utang) Rp100.000 kalau dikasih orang, kalau tidak ya Rp50.000. Itu pun satu minggu baru bayar utang di kedai," keluh Bariah yang memiliki dua anak.

Baca juga: Dukung Nelayan Melaut di Natuna, Pemerintah Revisi 29 Regulasi

Rumah Hafis dan Bariah terbuat dari kayu yang berdiri di atas air di pinggir pantai Pulau Tiga Barat.

Di belakang rumahnya, tersandar kapal ikan dan keramba kecil yang dulu digunakan untuk membesarkan ikan.

"Memang kondisi kita seperti ini. Kayak mana lah. Sedih tak sedih ya mau bagaimana lagi," kata Bariah dengan nada pasrah.

Baca juga: TNI AL: Indonesia dan China Hanya Beda Pemahaman soal ZEE di Natuna

'Gali lubang tutup lubang'

Hafis dan Bariah berdiri di depan rumahnya di Pulau Tiga Barat. BBC Indonesia/Haryo Wirawan Hafis dan Bariah berdiri di depan rumahnya di Pulau Tiga Barat.
Pengalaman yang sama juga dialami oleh Sudiro.

Tiga hari melaut, ia hanya mendapatkan satu ekor tongkol. Padahal ia telah menghabiskan 60 liter solar untuk bahan bakar kapal.

"Sekarang, tidak ke laut dulu, cari cengkeh hari ini dan dapat tujuh kilogram. Upahnya Rp 6.000 per satu kilo," kata Sudiro.

Di pulau ini, warga memiliki sumber penghasilan cadangan yaitu dari hasil perkebunan tradisional pohon cengkeh.

Baca juga: Nelayan Pantura Bisa Melaut di Natuna Mulai Akhir Januari

Pendapatannya kadang Rp 500.000, Rp 200.000 dan bahkan tidak mendapat uang sama sekali.

Namun hasilnya tidak bisa diharapkan, kata Sudiro, karena berbuah hanya sekitar dua hingga tiga tahun sekali.

Harga cengkeh saat ini Rp 15.000 untuk yang baru dipetik dan Rp 50.000 untuk yang sudah dikeringkan.

Setiap kali melaut, Sudiro harus mengeluarkan Rp 210 ribu. Ia pergi subuh dan pulang sore hari.

Baca juga: Bertemu Pimpinan MPR, Dubes Xiao Qian Ungkap Penyebab Nelayan China Melaut di Natuna

Ia pun mengumpamakan kehidupan ekonomi nelayan tradisional Natuna khususnya di Pulau Tiga Barat seperti "gali lubang tutup lubang".

Katanya, tidak ada uang lebih yang bisa ditabung.

"Tutup lubang, gali lubang saja. Tidak ada lebih, tidak ada kurang. Dapat hari ini, besok tidak. Rata-rata begitu. Nelayan pas-pasan cari makan," keluhnya yang biasa melaut antara 10 mil hingga 20 mil.

Nelayan lain, Sodikin mengatakan, rendahnya hasil tangkapan ikan nelayan Pulau Tiga Barat disebabkan karena minimnya fasilitas yang dimiliki nelayan, baik ukuran kapal yang terlalu kecil, hingga ketiadaan radar, GPS (Global Positioning System) dan radio komunikasi.

Baca juga: Bidik Potensi Bisnis di Natuna, Perindo Minta Modal ke Pemerintah

Selain untuk memancing, warga Pulau Tiga kapal, Kabupaten Natuna menggunakan kapal sebagai alat transportasi antar pulau. BBC Indonesia/Raja Eben L Selain untuk memancing, warga Pulau Tiga kapal, Kabupaten Natuna menggunakan kapal sebagai alat transportasi antar pulau.
"Sedih memang, ikan itu banyak (di Natuna). Tapi kita tidak bisa jauh, pompong (kapal) kecil, alat (komunikasi) tidak ada. Ada angin sedikit kita takut dan langsung pulang," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com