Ada sekitar 500 nelayan tradisional di Pulau Tiga yang mengantungkan hidup pada hasil laut.
Para nelayan itu pun berharap agar mendapatkan bantuan kapal yang memadai, seperti kapal kayu berukuran sekitar dua hingga lima GT yang dilengkapi dengan alat tangkap dan alat komunikasi sehingga mereka dapat aman dan maksimal dalam bekerja.
Mereka mengumpamakan nelayan tradisional Natuna saat ini sebagai pasukan semut yang hanya menikmati remah-remah kekayaan ikan Natuna yang melimpah.
Padahal, jika mereka memiliki fasilitas yang memadai, mereka siap mengarungi seluruh perairan Natuna termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya ikan.
Baca juga: Tim dari KKP Mulai Periksa Kapal Nelayan Pantura yang Akan Melaut ke Natuna
Tokoh nelayan Pulau Tiga Barat Hanafi Jamaluddin mengungkapkan selain pendapatan yang kurang, mereka juga harus hidup tanpa listrik pada siang hari.
Listrik di kecamatan ini hanya menyala dari pukul lima sore hingga tujuh pagi.
Akibatnya, kata Hanafi, usaha rumah tangga dan kegiatan warga yang membutuhkan listrik menjadi terganggu.
Kemudian, lanjut Hanafi, kegiatan sekolah dan perkantoran pun tidak maksimal akibat padamnya listrik.
Baca juga: Bangun Cold Storage di Natuna, Perinus Minta Pemerintah Lengkapi Infrastruktur
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Natuna, tahun 2018, terdapat 1.649 jiwa yang tinggal di Pulau Tiga Barat.
"Alasannya karena kecamatan ini tidak ada cold storage sehingga jika hanya dipakai untuk rumah tangga, kantor, sekolah akan rugi. Padahal kita masyarakat pulau terluar yang perlu disejahterakan," keluhnya.
Hanafi menjelaskan di Pulau Tiga Barat terdapat tiga mesin listrik yang masing-masing berkekuatan 500 kilovolt ampere (KVA).
Baca juga: Kritik Pemerintah Tak Tegas soal Natuna, PKS: Jangan Tafsirkan Ajak Perang
Namun mesin tersebut hanya memproduksi sekitar 120 KVA sehingga, ujar Hanafi, hanya mampu memasok listrik untuk malam hari.
"Hanya setetes dialirkan ke sini dibandingkan korupsi merajalela, BUMN banyak yang rugi. Keuntungan usaha pemerintah di Jawa, Sumatera tidak masuk akal kalau tidak bisa menutupi setetes untuk masyarakat pesisir di sini."
Baca juga: Ini Alasan Nelayan Natuna Tolak Kedatangan Nelayan Pantura
Jumlah penduduk miskin di Natuna meningkat lebih dari 400 orang dibandingkan tahun 2011. Walaupun, berkurang sebanyak 167 orang jika dibandingkan dengan 2018 yang berjumlah 3.596 orang (4,68%).
Sementara itu, jumlah penduduk miskin terbanyak di Provinsi Kepulauan Riau ada di Batam dengan jumlah 66,21 ribu orang.
Baca juga: Susi Pudjiastuti: Kapal Asing Boleh Lewat Natuna, tetapi Tidak untuk Colong Ikan
Angka tersebut diukur dari jumlah pengeluaran per kapita per bulan atau disebut dengan garis kemiskinan.
Garis kemiskinan di Kabupaten Natuna pada 2019 adalah Rp 378.573 yang meningkat dari Rp 253.491 pada tahun 2011.
Jika pengeluaran masyarakat Natuna berada di bawah garis tersebut maka dikategorikan dalam penduduk miskin.
Di Provinsi Kepulauan Riau, garis kemiskinan Kabupaten Natuna terendah kedua setelah Kabupaten Karimun, dengan posisi tertinggi adalah Batam sebesar Rp 686.956.
Selain itu, rata-rata lama sekolah di Natuna meningkat dari 2010 7,06 tahun menjadi 8,71 tahun pada 2018.
Baca juga: Susi Tidak Setuju Kapal Bercantrang Dikirim ke Natuna
Pertama, kata dia adalah karena lebih dari 60 persen nelayan tradisional Natuna hanya lulusan sekolah dasar (SD). Bahkan, 21 persen dari mereka tidak lulus SD.
Kedua, lanjut Khodijah, sekitar 85 persen dari nelayan tradisional Natuna memiliki armada tangkap satu sampai lima GT yang tidak dilengkapi dengan teknologi perikanan yang memadai.
Baca juga: Komisi I Gelar Rapat Kerja Bahas Natuna
Ditambah lagi, ujar Khodijah, para nelayan memiliki pengetahuan dan kemampuan melaut yang tradisional.
Akibatnya, katanya, hasil tangkapan mereka menjadi sedikit atau sering kali tidak ada.
"Ketiga, budaya nelayan yang bergantung pada toke (pemilik modal) dan hobi berutang ke toke. Sehingga (nelayan) tergantung dengan utang dan ini menjadi hambatan nelayan meningkatkan kesejahteraan mereka," katanya.
Terakhir, kata Khodijah adalah sistem produksi ikan yang belum terintegrasi sehingga nilai jual ikan dari nelayan masih rendah.
Kombinasi faktor-faktor tersebut, kata Khodijah, menciptakan benang kusut dalam rantai kehidupan nelayan tradisional sehingga sulit bagi mereka untuk terlepas dari jerat kemiskinan.
Baca juga: Sengketa Natuna, Peristiwa Bawean, dan Diplomasi