Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Milenial Pengusaha Sedotan Bambu, Ekspor ke Eropa, Asia dan Australia

Kompas.com - 27/01/2020, 12:10 WIB
Muhlis Al Alawi,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

MADIUN, KOMPAS.com - Fahmi Ali Mufti (24) tak menyangka produk sedotan bambu besutannya bakal mendunia hingga Eropa dan Australia.

Pemuda milineal kelahiran Desa Kedondong, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, itu awalnya hanya ingin membuat produk lokal yang dapat memberdayakan para santri pesantren milik keluarga besarnya. 

Gayung bersambut, berbekal ketekunan dan dukungan para santri, sedotan bambu buatan Fahmi makin hari makin diminati.

Apalagi, setelah Fahmi diundang acara talk show sebuah stasiun televisi, pesanannya makin banyak dari berbagai daerah.

Baca juga: Kampanye Diet Plastik, Hotel ini Pajang Miniatur Masjid dari 4.200 Sedotan Bambu

Bisnis sedotan bambu Sapu Jagad milik putra kedua pasangan Muhtarom dan Irtiqiyah Himmatin itu bermula saat bertemu dengan saudara-saudaranya di Pesantren Al Huda Setemon, Desa Kebonsari, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur enam bulan silam. 

"Awalnya saya bersama saudara-saudara berdiskusi untuk membuat usaha dengan memberdayakan para santri di pesantren," kata Fahmi, kepada Kompas.com, Jumat (24/1/2020) lalu. 

Lantaran banyak pohon bambu subur hidup di lingkungannya, lalu tercetus membuat kerajinan dari bambu.

Hanya saja, kerajinan bambu yang berkembang saat ini sudah banyak mulai dari mainan.

Setelah berdiskusi lama, akhirnya muncul ide membuat sedotan dari bambu. Tak lama kemudian, tim mencari bahan baku lalu dibuat sedotan bambu. 

Namun, sedotan bambu besutan lulusan Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Prodi Perbankan Syariah mulanya tidak bisa masuk karena jenis bambunya yang tidak sesuai dengan selera pasar.

Setelah berdiskusi dengan temannya, ia diberikan saran untuk membuat sedotan bambu dari bambu wuluh (bambu yang sering digunakan untuk membuat alat musik suling).

Setelah jadi, ia membangun jaringan dengan menceritakan usaha yang ditekuni kepada saudara-saudaranya di Surabaya.

Mendengar cerita Fahmi, saudaranya itu memintanya menyiapkan contoh produk sedotan bambu.

"Setelah sampel produk saya kirimkan, mereka (pengekspor) datang langsung ke tempat saya untuk melihat proses produksi sedotan bambu," kata Fahmi. 

Pengusaha asal surabaya itu datang melihat langsung untuk mengecek apakah produk sedotan bambunya itu masuk dalam kategori pasar ekspor atau sebaliknya.

Saat itu, timnya sudah menyiapkan 4.000 batang sedotan bambu. 

Setelah disortir pengusaha tersebut, sedotan bambu yang bisa dijual ke pasaran ekspor Korea hanya lima batang saja.

"Sedotan bambu yang masuk menurut kategori mereka harus lolos mutu baik itu panjang, kehalusan, hingga teksturnya," kata Fahmi. 

Dari lima batang sedotan bambu yang lulus uji mutu ekspor itu, Fahmi dan timnya menjadikan pelajaran yang berharga.

Baca juga: Kejutan Tumpeng Natal Siswa Muslim untuk Anak Nasrani di Kota Madiun

Ia bersama timnya bekerja keras untuk membuat sedotan bambu yang sesuai dengan spesifikasi ekspor. 

Bahkan, pengusaha asal Surabaya itu memintanya membuat contoh 1.000 batang sedotan bambu dalam waktu dua minggu.

Tak sampai dua minggu, seribu batang sedotan bambu yang diminta sebagai contoh produk ekspor diselesaikan timnya dalam waktu dua hari. 

Andalkan santri

Untuk membuat produk sedotan bambu kualitas eskpor, Fahmi tak hanya mengandalkan warga sekitar saja.

Ia mengajak puluhan santri senior Pondok Pesantren Al Huda Kebonsari milik keluarga besarnya.

"Setiap harinya ada sekitar 15 hingga 20 santri yang membantu kami membuat sedotan bambu," kata Fahmi. 

Setelah sampel 1.000 sedotan bambu itu dikirim ke Korea tak satupun dikembalikan ke Indonesia.

Dengan demikian, seribu batang sedotan bambu besutan santri Madiun diterima di pasar Korea Selatan mulai awal November 2019. 

Di Korea, satu batang sedotan bambu buatannya dijual Rp 13.000. Sementara bila membeli di Madiun, satu paket berisi tiga sedotan bambu dijual Rp 10.000. 

Namun, bila sedotan bambunya digrafir tulisan maka satu paket berisi tiga buah sedotan bambu harganya menjadi Rp 20.000.

Sementara, bila membeli grosir, per batang sedotan bambu dijual Rp 1.500. Hanya saja minimal pembeliannya di atas 2.000 batang.

"Tetapi kalau belinya hanya 100 batang maka harganya agak mahal menjadi Rp 2.000 perbatang. Sedangkan bila hanya ingin membeli satu atau dua batang kami jual Rp 5.000 per batangnya" ungkap Fahmi.

Berhasil dipasarkan di daratan Korea, Fahmi tak berpuas diri. Pria yang masih bujang ini mencoba memasarkan produknya di Australia.

"Mulai ekspor ke Australia akhir Desember 2019 lalu. Kami juga mengekspor ke Jepang dan Prancis," kata Fahmi.

Ekspor belasan ribu

Dalam satu bulan, Fahmi bisa mengekspor dua kali ke luar negeri. Jumlah yang diekspor 10.000 hingga 15.000 sekali kirim. 

Untuk pasar nasional, sedotan bambunya banyak diminati pembeli dari Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah hingga Bali. 

Fahmi optimistis produk sedotan bambunya akan makin berkembang kendati banyak persaingan pembuatan sedotan bambu di luar Madiun.

Agar bisnis sedotan bambunya terus berkembang, timnya selalu menjaga kualitas produk mulai tidak ada cacat mesin dan alam. 

Baca juga: Petani Rejosari Madiun Antusias Ikut Pelatihan dari Dompet Dhuafa dan LKP

Pemuda kelahiran Madiun, 28 Desember 1995 juga tak sembarang memilih nama brand pada sedotan bambunya.

Ia memberi nama Sapu Jagat pada merek sedotan bambunya karena teringat doa sapu jagad yang sering diajarkan orangtuanya. 

Tak hanya mengandalkan ekspor, Fahmi bersama timnya akan menawarkan produk sedotan bambunya ke instansi pemerintah, hotel dan restoran.

Langkah itu dilakukan juga bagian bentuk kampanye mengurangi plastik.

"Kami juga mengandalkan media sosial dan market place untuk menjual produk sedotan bambu," kata Fahmi.

Selain ramah lingkungan, sedotan bambu besutannya juga memiliki keunggulan lainnya dibandingkan dengan sedotan plastik.

Sedotan bambunya setelah diteliti rupanya memiliki serat yang diyakini dapat memfilter kotoran air minum. 

Ia mengklaim sedotan bambu bisa dipakai hingga satu tahun. Hanya saja di Korea, sedotan bambu biasa dipakai maksimal 12 kali pemakaian. 

Dalam satu bulan, ia bisa meraih untung hingga Rp 90 jutaan. Keuntungan itu tidak hanya dinikmati dirinya dan keluarganya saja.

Santri yang ikut membantu juga diberikan imbalan sesuai hasil kerjanya. 

Untuk bahan baku, Fahmi mengambil bambu wuluh dari petani di lereng Gunung Wilis.

Hanya saja, untuk menjaga ketersediaan bahan baku ia menggandeng petani dan pesantren agar menanam bambu wuluh. 

Apalagi, dalam waktu tujuh bulan bambu itu sudah bisa dipanen dan dapat dijadikan bahan baku sedotan bambu. 

Baca juga: Potret Toleransi di Madiun, Pemuda Muslim dan Wawali Kota Bagi Jeruk dan Donat di Gereja

Sementara itu, Ivan Zulva, salah satu pengurus Pondok Pesantrem Al Huda mengatakan sentra produksi sedotan bambu banyak membantu santri untuk mandiri saat terjun ke masyarakat. 

"Selain belajar mengaji, santri juga dibekali bagaimana memproduksi sedotan bambu. Dengan demikian, saat mereka terjun ke masyarakat ada kemandirian ekonomi," kata dia. 

Sedotan bambu yang dibuat para santri makin diminati di mancanegara. Hal itu terbukti makin banyaknya pesanan sedotan bambu khas Kabupaten Madiun itu dari luar negeri. 

"Di pasar lokal memang belum besar karena sedotan bambu baru ngetren di luar negeri. Saat ini produk kami sudah sampai Korea, Jepang, Australia dan Perancis," ujar Ivan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com