LAMPUNG, KOMPAS.com – Yuliana, guru SD 3 Bandar Agung, Muara Sungkai, Kabupaten Lampung Utara, tak gentar menerjang banjir setinggi dada orang dewasa untuk tetap pergi mengajar.
Hari masih teramat pagi. Matahari belum muncul, Yuliana sudah bersiap pergi. Pakaian dinas harian warna coklat dan sepatu pantofel.
Dia merapikan tepian jilbab berwarna merah muda yang dikenakannya. Tas jinjing warna hitam disampirkan di bahu.
Baru hendak melangkah, Yuliana mendengar panggilan suaminya, Gunawan, dari dalam rumah.
“Sudahlah, Bu, izin saja, libur mengajar dulu hari ini. Pasti banjir lagi, semalam (hujan) deras,” kata Gunawan.
Baca juga: Air Sungai Meluap, Sebuah Desa di Kudus Diterjang Banjir
Cuaca pagi itu, Rabu (22/1/2020), di Kampung Bandar Agung, Kecamatan Muara Sungkai, gerimis rintik-rintik.
Malam sebelumnya, hujan deras mengguyur kampung di Kabupaten Lampung Utara itu.
“Namanya suami ya begitu, mana tega melihat istrinya kesusahan. Biasanya dia (Gunawan) nyuruh libur dulu, kalau hujan deras, karena sudah pasti banjir di jalan arah ke sekolah,” kata Yuliana saat ditelepon, Kamis (24/1/2020) siang.
Bukan sekali dua kali Yuliana harus menerobos banjir untuk pergi ke sekolah tempatnya mengajar sejak 1992 itu.
Pilihan untuk jalan kaki dan menerjang banjir itu dia anggap jauh lebih aman daripada harus menggunakan sepeda motor melewati jalan umum.
Melalui jalan kabupaten itu, kata Yuliana, justru lebih lama, karena harus memutar dan kendaraan berjalan merayap.
“Jalannya itu, bukan rusak, tapi hancur, lubang di mana-mana. Kalau hujan pasti licin. Bahaya,” kata Yuliana.
Tak ada pilihan, dengan pertimbangan keselamatan, Yuliana pun nekat menerjang banjir sejauh 3 kilometer menuju perbatasan kampung di mana SD 3 Bandar Agung berlokasi.
“Saya bawa baju ganti,” kata Yuliana.
Yuliana mengakui, tidak mudah berjalan di lokasi banjir, terlebih kontur tanah adalah perkebunan dan agak berlumpur.