Sumarni menjelaskan, para pengikut KAS beraktivitas pada malam hari.
Biasanya mereka mulai menjalankan kegiatan pukul 17.00 WIB hingga 22.00 WIB.
Aktivitas mereka kerap menuai pertanyaan di kalangan warga. Sebab mereka sering menggelar acara tari-tarian, cucuk lampah hingga prosesi pecah telur.
"Kita sebagai warga jelas heran itu ada apa kok malem-malem seperti itu," ujar dia.
Baca juga: Sosiolog: Keraton Agung Sejagat Purworejo Manfaatkan Warga yang Ingin Jadi Ningrat
Tetangga lainnya, Sri Utami membenarkan bahwa para anggota sering melakukan kegiatan mereka saat malam hari.
Ia menambahkan, biasanya dalam satu bulan mereka menggelar beberapa kali pertemuan.
"Pokoknya sebulan itu dua atau tiga kali pertemuan dan sebetulnya kumpul-kumpul seperti itu sudah lama, cuma menang ramai itu setelah datangnya batu besar itu," katanya seperti dilansir dari Tribun Jateng.
Meski demikian, Sri mengatakan warga jarang melihat langsung untuk menyaksikan aktivitas kelompok KAS.
Sri mengaku, ada beberapa warga yang merasa ketakutan setelah kedatangan batu besar itu.
"Mengganggu sih sebenarnya, tetapi selama tidak mengganggu masyarakat tidak masalah karena mereka itu kejawen," ujar Sri Utami.
Baca juga: Raja dan Ratu Ditangkap, Bangunan Keraton Agung Sejagat Dipasangi Garis Polisi
Polisi akhirnya menangkap Raja Keraton Agung Sejagat Sinuhun Toto Santoso (42) dan Fanni Aminadia (41) pada Selasa (14/1/2020).
Tak hanya ditangkap, polisi juga menggeledah lokasi tempat berkumpulnya kelompok KAS di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Dalam penggeledahan tersebut, polisi menyita sejumlah dokumen yang diduga formulir rekrutmen anggpta KAS.
"Dugaan sementara pelaku melakukan perbuatan melanggar Pasal 14 UU RI No1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana terkait penipuan," jelas Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Iskandar Fitriana Sutisna.
Atas perbuatannya, mereka terancam hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Sementara Kapold Jawa Tengah Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel di Semarang mengatakan tersangka memiliki motif menarik dana dari masyarakat dengan menggunakan tipu daya.
"Dengan simbol-simbol kerajaan, tawarkan harapan dengan ideologi kehidupan akan berubah. Semua simbol itu palsu," katanya.
Sumber: Kompas.com (Editor: Teuku Muhammad Valdy Arief, Michael Hangga Wismabrata, David Oliver Purba, Pythag Kurniati), Tribun Jateng.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.