Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duduk Perkara 32 Mahasiswa Tunanetra Tidur di Halte dan Trotoar Menurut BRSPDSN Wyata Guna Bandung

Kompas.com - 15/01/2020, 13:52 WIB
Putra Prima Perdana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna Bandung, Sudarsono, menjelaskan duduk perkara terkait aksi 32 mahasiswa tuna netra yang tidur di halte dan trotoar di depan BRSPDSN Wyata Guna Bandung, Jalan Pajajaran, Kota Bandung, sejak Selasa (14/1/2020) hingga hari ini Rabu (15/1/2020).

Menurut Sudarsono, 32 mahasiswa yang melakukan aksi tidur di halte dan trotoar merupakan pihak yang terimbas Peraturan Menteri Sosial (Permensos) nomor 18 tahun 2018 dimana status panti sosial bina netra yang disandang Wyata Guna telah berubah nomenklatur menjadi balai rehabilitasi.

"Ini adalah terminasi atau pengakhiran sebuah layanan untuk mereka yang sudah lulus (masa pendidikan formal 12 tahun)," kata Sudarsono, Rabu siang.

Sudarsono menjelaskan, perubahan nomenklatur dari panti sosial menjadi balai rehabilitasi hanya akan melayani pembinaan pendidikan vokasi dan tidak melayani tinggal dalam waktu lama, untuk menjalani pendidikan formal.

"Sebelumnya waktu masih panti bisa 2 tahun 3 tahun. Setelah perubahan layanan jadi hanya 6 bulan. Fungsi rehabilitasi sosial ada pendidikan vokasi dan pelatihan keterampilan. Barista salah satunya," tuturnya.

Baca juga: Mahasiswa ITB Kembangkan I-Cane, Tongkat Tuna Netra yang Canggih

Sudarsono menjelaskan, para mahasiswa tuna netra yang merasa terusir dari asrama juga dikarenakan keterbatasan anggaran untuk memfasilitasi anak-anak yang masih sekolah baik tingkat SD, SMP hingga SMA.

Menurut Sudarsono, anggaran yang tersedia dari tahun 2019 hanya untuk melayani 175 anak-anak yang masih menempuh pendidikan tingkat SD hingga perguruan tinggi.

Namun demikian, pada kenyataannya, anak-anak penyandang tuna netra yang masih mengenyam pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi mencapai 65 orang, sementara sisa anggaran hanya cukup memfasilitasi 45 orang anak setelah 130 orang yang sudah difasilitasi.

Sudarsono mengatakan, untuk mengoptimalkan sisa anggaran tersebut, pihaknya melakukan seleksi kembali anak-anak yang layak mendapatkan tunjangan pendidikan, meski hal tersebut merupakan toleransi dari Kementrian Sosial dimana seharusnya anggaran tersebut dimanfaatkan untuk pembinaan vokasi.

Baca juga: Cerita Ahmad Fauzan, Siswa Tuna Netra yang Rela Jalan Kaki Demi Pertukaran Pelajar

"Kalau yang 65 tetap mau dilakukan, anggaran tidak cukup, program pelatihan barista tidak bisa berjalan. Untuk itu nnak-anak yang sekolah, lulus SD, SMP, SMA, kuliah kami identifikasi. Yang lulus kami masukan pertimbangan terminasi. Fungsi kami rehabilitasi sosial, tapi ini fungsi pendidikan. Kami tidak menghalangi hak mereka atas pendidikannya dan kami akhirnya  mendorong hak-hak itu," ucapnya.

Sudarsono menjelaskan, para mahasiswa yang melakukan aksi tidur di halte adalah pihak yang terimbas ketersediaan anggaran tersebut.

Namun demikian, Sudarsono memastikan tidak ada upaya intimidasi karena sosialisasi dan pemberitahuan sudah dilakukan sejak satu tahun lalu.

"Kami turunkan tim keperguruan tinggi. Ternyata ada yang masih kuliah dan ada yang sudah tidak kuliah.  Sementara ada penyandang disabilitas lain yang perlu," tandasnya.

Baca juga: Kisah Alexander Farrel, Siswa Penyandang Tuna Netra yang Raih Nilai UN Matematika 100

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com