Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Kekerasan Perempuan di Solo Raya Meningkat, Didominasi KDRT

Kompas.com - 09/01/2020, 19:49 WIB
Labib Zamani,
Khairina

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Solo Raya yang dilaporkan sepanjang 2019 tercatat ada sebanyak 62 kasus. Jumlah itu naik sebesar 10 persen dari sebelumnya hanya 58 kasus.

Hal tersebut disampaikan Manager Divisi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat (PPKBM) Spek-HAM Solo, Fitri Haryani dalam Launching Catatan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Spek-Ham 2020 di Solo, Jawa Tengah, Kamis (9/1/2020).

Menurut Fitri, tren kasus kekerasan yang terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Sebab, kasus KDRT mendominasi di semua daerah di Solo Raya. Adapun terbanyak adalah Solo.

Baca juga: Istri Injak Kemaluan Suami hingga Pingsan, Ahli: Pria Berpotensi Jadi Korban KDRT tapi Malu Mengungkapkan

Jumlah kasus KDRT di Solo Raya itu antara lain, Sukoharjo ada 19 kasus, Sragen enam kasus, Solo 36 kasus, Karanganyar 23 kasus, Boyolali tiga kasus, Klaten 10 kasus dan Wonogiri 11 kasus.

"Bukan persoalan angka ya. Tapi terkait dengan kekerasan apapun bentuknya berada pada peningkatan itu berarti menjadi perhatian kita semua," katanya, Kamis.

Fitri mengungkapkan, untuk penanganan kasus tersebut lebih banyak diproses pendampingan hukum dan sosial.

Para korban lebih banyak memilih menyelesaikan kasus kekerasan dengan jalur perdata dari pada pidana.

Salah satu yang menjadi pertimbangan mereka untuk memilih jalur perdata adalah proses hukum yang terlalu panjang. 

"Misalnya, di kepolisian mereka harus bolak balik. Kemudian beberapa kali melakukan BAP (berita acara pemeriksaan) mungkin. Kemudian bukti, saksi, dan segala macam itu perlu tidak hanya sekali dua kali. Belum lagi nanti diproses pengadilan harus beberapa kali, kemudian menghadirkan saksi," terang dia.

Belum lagi setelah melalui proses hukum yang panjang, pada ujungnya pelaku hanya dijatuhi hukuman paling hanya tiga bulan atau dua bulan.

"Ini dibandingkan proses hukum misalnya dari pengaduan, kemudian sampai di pengadilan bisa jadi waktunya lebih panjang diproses di kepolisian dan pengadilan," terang Fitri.

Baca juga: Pelaku Penusukan Istri di Bali Kerap Lakukan KDRT

Di luar itu, lanjut Fitri, ada pertimbangan lain terkait misalnya terhadap psikologis anaknya.

Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga ini lebih memilih menyelesaikan kasus itu melalui jalur perceraian.

"Kalau terkait kasus kekerasan seksual ini yang kemudian kami tidak melakukan toleransi. Harus ada proses sampai ke Pengadilan," jelas dia.

Dijelaskan, faktor terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga ini  bukan hanya ekonomi, tetapi lebih kepada penelantaran. Kebanyakan status perempuan ini banyak digantung pasangannya sehingga memilih untuk bercerai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com