KOMPAS.com- Tahun 2019 menorehkan banyak kisah dalam dunia pendidikan. Di antaranya menggambarkan ironi, perjuangan, hingga harapan serta impian.
Seperti kisah Herayati, penyandang predikat cum laude dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Meski lahir dan tumbuh di keluarga tak punya, Herayati tak pernah takut bermimpi.
Kepada ayahnya yang seorang tukang becak, Herayati membuktikan, perjuangan menggapai impian berakhir dengan indah.
Setelah lulus S2 ITB, pihak Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten memanggil Herayati. Untirta meminta Herayati menjadi dosen luar biasa di Jurusan Teknik.
Tak hanya kisah Herayati, Kompas.com merangkum berbagai kisah inspiratif lainnya di dunia pendidikan seperti berikut ini:
Baca juga: Nadiem Makarim Minta Waktu 6 Bulan Siapkan Cetak Biru Pendidikan Indonesia
Wallace Dean Wiley (71 tahun) atau Wally menjadi sosok inspiratif atas jasanya bagi pendidikan tanah air, yakni dengan membangun 7 sekolah di Papua
Pria asal Amerika Serikat (AS) itu sudah 42 tahun tinggal di Kabupaten Jayapura dan kini telah mengubah status kewarganegaraannya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
Wally lama tinggal di Jayapura karena bekerja di perusahaan penerbangan perintis, yaitu di MAF Aviation.
Alasan pertamanya mendirikan sekolah ialah karena dia kesulitan menemukan pilot atau mekanik andal dari penduduk sekitar.
"Dulu saya kepala MAF. Saya frustasi karena kami tidak dapat seorang Papua sebagai pilot atau mekanik. Di situ saya mulai tanya kenapa kami gagal terus dan setelah saya kumpulkan banyak orang untuk bicarakan hal itu akhirnya kami putuskan bahwa itu sebetulnya dalam hal problem solving," katanya, Kamis (30/05/2019).
Mulai 2008, Wally mendidik 8 orang anak dari Kabupaten Intan Jaya untuk belajar di bangku taman kanak-kanak (TK) melalui Yayasan Papua Harapan.
Selama masih berstatus WNA, dia kesulitan untuk berkegiatan di luar pekerjaannya, sehingga akhirnya dia memilih menjadi WNI pada 2011.
Keputusan tersebut didukung penuh sang istri, Jhon Wiley dan kedua anaknya Josenda Jacinda dan Jared.
Berawal satu sekolah, Wally kemudian bisa mendirikan 7 sekolah, yakni satu sekolah di Kabupaten Jayapura, dua sekolah di Tolikara, dua sekolah di Yahukimo, satu sekolah di Intan Jaya, dan satu sekolah di Boven Digoel.
Setelah 11 tahun berlalu, delapan siswa yang dulu disekolahkan TK, kini sudah duduk di bangku SMA dan akan segera lulus.
"(Awalnya) kami memulai dari TK dan setiap tahun tambah satu kelas, tahun depan baru ada kelas 3 SMA. Jadi baru ada lulusan," katanya.
Ke depan, Wally ingin mendirikan perguruan tinggi bahkan perusahaan yang dapat menyerap tenaga kerja dari Papua, termasuk para siswanya.
Tak hanya ingin agar warga Papua memiliki keahlian dalam ilmu pengetahuan, Wally juga bercita-cita agar orang Papua bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia.
"Saya senang sekali kalau suatu waktu itu Presiden Indonesia dari Papua dan itu bisa jadi. Alasan saya ingin membangun Papua adalah supaya tidak ada alasan lagi untuk orang memikirkan mereka (orang Papua) orang bodoh atau keterbelakangan. Mereka ada potensi luar biasa. Mereka akan jadi orang yang luar biasa," cetusnya.
Karena kecintaannya terhadap Papua dan Indonesia, Wally pun mengaku akan terus mengabdi untuk mendidik masyarakat Papua hingga akhir hayatnya.
"Saya sudah jadi orang Indonesia, jadi sampai Tuhan memanggil saya".
Baca juga: 7 Fakta Kisah Wally Jadi WNI, 42 Tahun Tinggal di Papua hingga Dirikan 7 Sekolah
Usia bukanlah penghalang bagi seseorang menuntut ilmu.
Kalimat itu tepat disematkan pada Kakek La Ode, warga Kelurahan Wameo, Kecamatan Batuparo, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara.
Wa Ode mendaftar kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bahasa dan Sastra Universitas Muhammadiyah Buton saat ia berusia 78 tahun.
Seorang dosen yang mengajar Wa Ode bahkan merupakan murid SMPnya dahulu.
Wa Ode menempuh kuliah selama tujuh tahun. Usai menyelesaikan skripi berjudul 'Mengkaji Sastra Indonesia dalam Puisi Wolio Buton'.
Ia berhasil menyelesaikan program Strata 1 dengan predikat cum laude saat usianya 85 tahun.
“Motivasi saya kuliah karena anak-anak saya, anak saya yang pertama almarhum yang mengatakan jangan hanya sampai diploma tiga. Saya bilang bisa saja asal diterima, jadi anak saya yang mengurusnya (masuk perguruan tinggi),” ucap kakek 15 cucu dan 3 cicit tersebut.
Baca juga: Wisuda pada Usia 85 Tahun, Kakek La Ode Jadi Sarjana Sastra Indonesia
Aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh pelajar, menambah deretan kisah menarik di dunia pendidikan pada tahun 2019.
Ridwan, siswa kelas XII SMK Pasundan Cianjur tak pernah menyangka akan melihat seorang anggota polisi Aiptu (sekarang Ipda) Erwin Yudha berlari dalam kondisi terbakar, Kamis (15/8/2019).
Awalnya, Ridwan hanya menjalani magang atau praktik kerja lapangan (PKL) di salah satu kantor di lingkungan Pendopo Bupati Cianjur.
Saat itu terjadi unjuk rasa di sekitar tempat tersebut. Unjuk rasa dilakukan oleh gabungan elemen mahasiswa.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.