Selain itu, setiap Sabtu ada kelas profesi. Banyak orang dengan beragam profesi datang ke tempat itu untuk berbagi dan menginspirasi para siswa.
Baca juga: Hangatnya Toleransi di Lereng Gunung Merbabu yang Dingin
Orang yang berada di balik kelas multikultural adalah Ai Nurhidayat. Pria kelahiran Ciamis, 22 Juni 1989 ini menceritakan awal mula kelas ini berdiri.
“Saya kuliah di Jakarta, tapi memutuskan untuk kembali ke daerah karena urbanisasi hanya akan memperkuat ketimpangan desa dan kota,” tuturnya.
Sekembalinya ke kampung, ia dan beberapa orang temannya mendirikan Komunitas Sabalad pada 2013. Komunitas ini banyak membantu di bidang pendidikan dan pertanian.
Hingga pada 2014, seorang guru SMK Bakti Karya menemuinya dan meminta bantuan. Sekolah tempatnya mengajar mau bangkrut.
Dengan bermodalkan tekad kuat dan tanah wakaf, Ai dan komunitasnya mengakuisisi SMK Bakti Karya pada 2014.
Kini ia menjabat Ketua Yayasan Darma Bakti Karya Pangandaran yang menaungi SMK Bakti Karya.
Baca juga: Ridwan Kamil Didaulat Menjadi Tokoh Penggerak Pluralisme
“Saya buat ini bukan untuk gaya-gayaan. Sederhananya, kalau kita punya duit, rumah, kerjaan, tapi lingkungan kita diskriminatif, enak ga? Karena saya mencintai istri, anak, dan orang-orang di sekitar saya makanya saya lakukan ini,” tuturnya.
Walaupun untuk bertahan hingga sekarang tidaklah mudah. Ia pernah dituduh pastur bahkan sekolahnya dicap kristenisasi atau pengikuti aliran sesat.
“Ada cerita lucu. Dulu orang Sulawesi nyari SMK Bakti Karya ga ketemu. Nanya ke orang juga ga tahu. Pas bilang tempat sekolah siswa dari berbagai daerah, warga bilang oh...sekolah kristenisasi. Ke sebelah sana,” ungkap penerima Satu Indonesia Awards ini.
Baca juga: Potret Toleransi di Madiun, Pemuda Muslim dan Wawali Kota Bagi Jeruk dan Donat di Gereja
Mendapat cap seperti itu tak menyurutkan tekad Ai. Meskipun ia harus didemo saat dipanggil untuk klarifikasi isu SARA tersebut oleh Pemkab Pangandaran.
Sebab yang mendemo atau menolak bukan warga sekitar sekolah. Sejak awal, warga sekitar menerima keberadaan anak-anak berbagai suku itu.
Lambat laun anggapan negatif sekolah ini pudar. Terutama saat kerusuhan Papua mencuat. Banyak pejabat yang mengamini upaya Ai membangun kelas multikultural.
“Para siswa ini penyebar virus toleransi. Mereka menebar benih keberagaman. Kalau terjadi konflik, siapa yang memiliki imun? Ya mereka. Karena tiga tahun mereka hidup bareng dalam keberagaman. Mereka agen perdamaian,” ucap Ai.
Baca juga: Potret Toleransi di Maumere, Remaja Masjid Ikut Amankan Misa Natal