Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita dari Kelas Multikultural Pangandaran: Aku dan Kamu, Satu Indonesia

Kompas.com - 31/12/2019, 15:17 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

Selain itu, setiap Sabtu ada kelas profesi. Banyak orang dengan beragam profesi datang ke tempat itu untuk berbagi dan menginspirasi para siswa.

Baca juga: Hangatnya Toleransi di Lereng Gunung Merbabu yang Dingin

 

Ai Nurhidayat, sosok di balik kelas multikultural

Orang yang berada di balik kelas multikultural adalah Ai Nurhidayat. Pria kelahiran Ciamis, 22 Juni 1989 ini menceritakan awal mula kelas ini berdiri.

“Saya kuliah di Jakarta, tapi memutuskan untuk kembali ke daerah karena urbanisasi hanya akan memperkuat ketimpangan desa dan kota,” tuturnya.

Sekembalinya ke kampung, ia dan beberapa orang temannya mendirikan Komunitas Sabalad pada 2013. Komunitas ini banyak membantu di bidang pendidikan dan pertanian.

Hingga pada 2014, seorang guru SMK Bakti Karya menemuinya dan meminta bantuan. Sekolah tempatnya mengajar mau bangkrut.

Dengan bermodalkan tekad kuat dan tanah wakaf, Ai dan komunitasnya mengakuisisi SMK Bakti Karya pada 2014.

Kini ia menjabat Ketua Yayasan Darma Bakti Karya Pangandaran yang menaungi SMK Bakti Karya.

Baca juga: Ridwan Kamil Didaulat Menjadi Tokoh Penggerak Pluralisme

Tepis isu kristenisasi

Siswa SMK Bakti Karya Parigi, Pangandaran, Jawa Barat, berasal dari berbagai suku di Indonesia. Selama tiga tahun, mereka hidup dalam keberagaman.KOMPAS.com/RENI SUSANTI Siswa SMK Bakti Karya Parigi, Pangandaran, Jawa Barat, berasal dari berbagai suku di Indonesia. Selama tiga tahun, mereka hidup dalam keberagaman.
Berbagai program termasuk kelas multikultural pun mulai dijalankan 2015. Sekolah membiayai anak-anak luar daerah mulai dari biaya sekolah, makan, asrama, buku, hingga tiket pulang pergi. Dananya berasal dari banyak pihak, termasuk para donatur.

“Saya buat ini bukan untuk gaya-gayaan. Sederhananya, kalau kita punya duit, rumah, kerjaan, tapi lingkungan kita diskriminatif, enak ga? Karena saya mencintai istri, anak, dan orang-orang di sekitar saya makanya saya lakukan ini,” tuturnya.

Walaupun untuk bertahan hingga sekarang tidaklah mudah. Ia pernah dituduh pastur bahkan sekolahnya dicap kristenisasi atau pengikuti aliran sesat.

“Ada cerita lucu. Dulu orang Sulawesi nyari SMK Bakti Karya ga ketemu. Nanya ke orang juga ga tahu. Pas bilang tempat sekolah siswa dari berbagai daerah, warga bilang oh...sekolah kristenisasi. Ke sebelah sana,” ungkap penerima Satu Indonesia Awards ini.

Baca juga: Potret Toleransi di Madiun, Pemuda Muslim dan Wawali Kota Bagi Jeruk dan Donat di Gereja

Mendapat cap seperti itu tak menyurutkan tekad Ai. Meskipun ia harus didemo saat dipanggil untuk klarifikasi isu SARA tersebut oleh Pemkab Pangandaran.

Sebab yang mendemo atau menolak bukan warga sekitar sekolah. Sejak awal, warga sekitar menerima keberadaan anak-anak berbagai suku itu.

Lambat laun anggapan negatif sekolah ini pudar. Terutama saat kerusuhan Papua mencuat. Banyak pejabat yang mengamini upaya Ai membangun kelas multikultural.

“Para siswa ini penyebar virus toleransi. Mereka menebar benih keberagaman. Kalau terjadi konflik, siapa yang memiliki imun? Ya mereka. Karena tiga tahun mereka hidup bareng dalam keberagaman. Mereka agen perdamaian,” ucap Ai.

Baca juga: Potret Toleransi di Maumere, Remaja Masjid Ikut Amankan Misa Natal

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com