Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita dari Kelas Multikultural Pangandaran: Aku dan Kamu, Satu Indonesia

Kompas.com - 31/12/2019, 15:17 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

“Awal-awal yang bergeng dengan daerahnya saja banyak, ada juga yang sampai berantem. Proses adaptasinya beragam,” tambah Ari.

Seperti dirinya, hanya butuh waktu dua minggu untuk berbaur. Namun temannya membutuhkan waktu 6 bulan-7 bulan.

Baca juga: Indahnya Toleransi Jelang Natal di Bukit Menoreh: Warga Beda Agama Bantu Bersihkan Gereja

Untuk mempercepat proses adaptasi, kakak kelas maupun guru memiliki peran besar. Misal, walaupun siswa diperbolehkan memilih teman sekamar, kakak kelas akan menyarankan mereka untuk berbaur baik di sekolah ataupun asrama.

“Iya, dulu sekamar dengan orang Papua, ga mau, jadinya nangis. Lalu pindah bareng orang Maluku. Eh sekarang, berteman dengan siapa saja,” tutur Siska, siswi dari Pangandaran, Jabar.

Ia kini bisa berteman dengan siapapun. Mereka berbagi pengetahuan tentang budaya dan bahasa masing-masing.

“Istilahnya, baik aku ataupun kamu, kita satu Indonesia,” tuturnya.

Psikolog Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Yuri Riksa Yustiana mengatakan, berada dalam suasana yang beragam membawa dampak positif bagi siswa.

Unesco mengatakan, ada empat konteks dalam belajar yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning together.

“Poin terakhir ini together in harmony. Mereka akan belajar saling memahami, menghargai, dan bertoleransi,” ucapnya.

Namun tentunya saat memulai berada di lingkungan baru dengan beragam suku, timbul kecemasan pada anak. Hal itu wajar sebagai bagian dari adaptasi.

Baca juga: Mendorong Semangat Pluralisme lewat Pekan Keterampilan dan Seni

 

Kelas Multikultural

SMK Bakti Karya Parigi berada di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. SMK bidang multimedia ini menjunjung tinggi nilai multikultural.

Itulah mengapa, siswa di sekolah ini beragam ada Aceh, Jawa, Sunda, Kalimantan, Papua, dan lainnya.

Bila dihitung, ada 25 suku dengan latar belakang budaya dan dan agama berbeda yang belajar di sini. Mereka belajar dan tinggal bersama selama tiga tahun tanpa biaya.

Mereka belajar tentang multimedia, ekologi, hingga 60 materi pokok multikulturalisme yang mengacu pada 5 konsep dasar. Yakni penanaman nilai toleransi, semangat perdamaian, semangat berjaringan, berbudaya, dan pembelajaran aktif.

Konsep sekolah ini pun lebih banyak di luar ruangan. Mereka bercocok tanam, aktif dengan kegiatan masyarakat, bahkan membantu jika ada yang hajatan hingga proses penguburan jenazah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com