Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2019: Pengepungan Asrama Mahasiwa Papua di Surabaya

Kompas.com - 26/12/2019, 06:36 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya oleh massa dari organisasi masyarakat menjadi perhatian publik di tahun 2019.

Peristiwa pada pada Jumat (16/8/2019) tersebut bahkan memicu kerusuhan di beberapa wilayah di Tanah Papua.

Pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabya dipicu kabar yang menyebut mahasiswa Papua diduga mematahkan tiang bendera Merah Putih dan membuangnya ke selokan.

Kala itu, perwakilan massa mengatakan foto oknum mahasiswa Papua yang diduga mematahkan tiang bendera beredar di grup-grup WhatsApp.

Baca juga: Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya Didatangi Ratusan Kelompok Ormas, Ini Dugaan Penyebabnya

Namun saat massa datang pada Jumat sore, tiang bendera yang disebut patah oleh massa telah terpasang kembali di halaman asrama.

Dorlince Iyowau, juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Surabaya mengatakan saat massa datang sekitar pukul 15.20 WIB, oknum aparat merusak pagar asrama dan mengeluarkan kata-kata rasisme.

"Tentara masuk depan asrama disusul lagi Satpol PP lalu merusak semua pagar. Mereka maki kami dengan kata-kata rasis," kata Dorlince.

Baca juga: Polisi Tembak Gas Air Mata dan Jebol Pintu Pagar Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya

Hal tersebut menurut Dorlince memicu massa bersikap reaksioner dengan melemparkan batu ke asrama.

"Kami terkurung di aula. Ormas, tentara, dan Satpol PP masih di luar pagar, belum masuk," ujar Dorlince.

Melalui telepon kepada Kompas.com, Dorlince memastikan tidak ada mahasiswa Papua yang merusak bendera Merah Putih di depan asrama.

Ia bercerita hari itu ia keluar asrama bersama rekan-rekannya untuk membeli makan siang. Namun saat kembali mereka kaget saat melihat bendera sudah tidak ada di tempat.

Baca juga: Polisi Angkut Paksa 43 Orang dari Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya

"Soal itu kami tidak tahu. Karena kami dari luar, masuk, ada beberapa kawan juga masuk, kami tidak tahu apa-apa. Kami kaget tiba-tiba kok benderanya gini-gini (patah)," tutur dia.

Ia menjelaskan telah berusaha negosiasi namun mendapatkan penolakan dari massa. Menurutnya massa menuntut mereka keluar dan adu fisik.

"Kami pakai metode negosiasi ataupun pendekatan hukum untuk bicara baik-baik soal ini. Kami klarifikasi bersama, tapi mereka menolak itu. Mereka menunjuk kami. Mereka menuntut kami untuk keluar adu fisik," ujar dia.

Massa kemudin membubarkan diri sekitar pukul 21.00 WIB.

Baca juga: Duduk Perkara Dugaan Perusakan Bendera hingga Pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya

 

Bawa 43 mahasiswa untuk diperiksa

Sejumlah anggota Detasemen Gegana Satbrimob Polda Jatim bersiap masuk ke dalam Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019). Sebanyak 43 orang dibawa oleh pihak kepolisian untuk diminta keterangannya tentang temuan pembuangan bendera Merah Putih di depan asrama itu pada Jumat (16/8/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.Didik Suhartono Sejumlah anggota Detasemen Gegana Satbrimob Polda Jatim bersiap masuk ke dalam Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019). Sebanyak 43 orang dibawa oleh pihak kepolisian untuk diminta keterangannya tentang temuan pembuangan bendera Merah Putih di depan asrama itu pada Jumat (16/8/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.
Sabtu (17/8/2019) sekitar pukul 10.00 WIB, polisi mencoba berkomunikasi dengan mahasiswa Papua terkait dugaan pembuangan bendara Merah Putih.

Namun komunikasi tidak membuahkan hasil. Polisi sempat meminta bantuan RT, RW. lurah, camat hingga perwakilan warga Papua di Surabaya untuk mengajak mahasiswa keluar dan berdialog denagn mahasiswa.

Namun lagi-lagi usaha tersebut gagal.

Sementara gabungan ormas melapor ke polisi akan kembali mendatangai asrama jika tidak ada jawaban terkait dugaan pembuangan Merah Putih.

Baca juga: Fakta Bentrokan di Asrama Mahasiswa Papua, Diduga Rusak Bendera Merah Putih hingga 43 Orang Diamankan

Upaya dialog mulai pukul 10.00 WIB tidak membuahkan hasil.

Karena mengalami kebuntuan, polisi memberikan tiga kali peringatan dan akhirnya mengeluarkan surat perintah tugas dan penggeledahan.

Sekitar pukul 14.45 WIB, polisi menembakkan gas air mata sebanyak 10 kali ke dalam asrama.

Sejumlah polisi menggunakan perisai masuk dengan mendobrak pagar dan menjebol pagar asrama lalu membawa mahasiswa keluar diangkut dengan tiga truk.

43 mahasiswa Papua di dalam asrama dibawa ke Polrestabes Surabaya.

Baca juga: Risma Janji Sambangi Asrama Mahasiswa Papua yang Sempat Dikepung Massa

Sebelum polisi memaksa masuk, Ikar Dhani Nawipa kuasa hukum mahasiswa Papua sempat melakukan negosiasi. Ia meminta penjelasan tentang mahasiswa yang tidak dizinkan keluar asrama termasuk membeli makan.

Selain itu, ia juga meminta bukti video dan foto yang menyebut mahasiswa Papua mematahkan tiang bendera seperti yang dituduhkan massa.

Kepala Polrestabes Surabaya Kombes Sandi Nugroho mengatakan polisi awalnya hanya akan membawa 15 mahasiswa namun ada 30 mahasiwa tambahan asal Papua yang datang ke asrama.

Baca juga: Mengurai Fakta Polisi Kepung Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya

"Ternyata mereka tidak mau. 'Kalau mau dibawa teman kami, bawa kami semua'. Akhirnya, kami bawa semua ke kantor dan kemudian kami periksa maraton," ujar Sandi.

Ada 10 penyidik yang disiapkan dan hanya satu mahasiswa yang tidak diperiksa karena tidak bisa berbahasa Indonesia.

Pemeriksaan mereka selesai pada 23.00 WIB dan mereka dipulangkan pada Minggu (18/8/2019) pukul 00.00 WIB.

Peristiwa di pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya memicu aksi solidaritas Papua di sejumlah kota di Provinsi Papua dan Papua Barat, Senin (19/8/2019).

Beberapa aksi tersebut diberitakan berakhir ricuh.

Baca juga: Ini Kronologi dan Peran Tri Susanti Dalam Kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua

 

Ditolak masuk asrama mahasiswa Papua di Surabaya

Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (21/8/2019)dok BBC Indonesia Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (21/8/2019)
Rabu (21/8/2019). Rombongan DPR RI berkunjung ke asrama mahasiswa Papua sekitar jam 11.30 WIB.

Selain wakil ketua DPR RI Fadli Zon, juga dalam rombongan tersebut juga ada sejumlah anggota legislatif dari Papua dan Papua Barat seperti Jimmy Demianus Ijie, Willem Wandik, Steven Abraham dan Michael Wattimena.

Namun tidak ada satu pun mahasiswa yang keluar.

Hal yang sama juga dialami oleh Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Baca juga: Khofifah dan Gubernur Papua Ditolak Masuk Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya

Mereka ditolak saat datang ke asrama pada Selasa (27/8/2019) sekitar pukul 18.00 WIB.

Penghuni asrama menggedor pintu gerbang dari dalam. Bahkan dari luar terlihat ada yang sudah mengangkat kursi lipat dan melempar kerikil.

Di saat bersamaan terdengan nyanyian Papua Merdeka dari asrama mahasiswa Papua.

Atas pertimbangan keamanan, rombongan kedua gubernur itu pun kembali masuk mobil dan meninggalkan lokasi.

Ikut dalam rombongan tersebut, Kapolda Jawa Timur Irjen Luki Hermawan dan Pangdam V Brawijaya Mayjend TNI Wisnoe Prasetja Boedi.

Baca juga: Kapolda Jatim: Penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya Tolak Berkomunikasi dengan Siapa Pun

Saat itu Lukas mengatakan ada 42 orang di dalam asrama. Namun ia tidak mengetahui apakah dari mahasiswa atau bukan.

Bahkan menurut Lukas, orangtua salah satu mahasiswa yang datang juga ditolak oleh penghuni asrama.

Asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya tertutup sejak peristiwa aksi dugaann perusakan bendera merah putih pada 16 Agustus 2019.

Di depan pintu gerbang terpampang spanduk warna putih bertuliskan "Siapapun Yang Datang Kami Tolak" dengan huruf warna merah, "Lepaskan Garuda" dan "Referendum Is Solution".

Baca juga: Ditolak, Gubernur Lukas Jadwal Ulang Bertemu Penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya

 

Tersangka kerusuhan di asrama mahasiswa Papua

Tri Susanti (tengah) ditemani kuasa hukumnya di Mapolda Jatim. KOMPAS.com/A. FAIZAL Tri Susanti (tengah) ditemani kuasa hukumnya di Mapolda Jatim.
Rabu (28/8/2019). Polisi menetapkan Tri Susanti sebagai salah satu tersangka dalam kasus perusuhan di asrama mahasiswa Papua.

Perempuan yang akrab dipanggil Mak Susi tersebut diduga menyebarkan secara aktif informasi berisi ujaran kebencian yang memicu kekerasan di asrama.

Saat aksi di asrama mahasiswa Papua, Tri Susanti menjadi koordinator lapangan.

Tri Susanti adalah politisi asal Surabaya dan menjabat sebagai wakil ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI) Surabaya.

Baca juga: Berkas Kasus Tri Susanti, Korlap Demo Asrama Mahasiswa Papua Dilimpahkan Ke Kejaksaan

Bahkan saat aksi massa, FKPPI Surabaya dicatut sebagai salah satu ormas yang turun ke asrama mahasiswa.

Menanggapi hal tersebut Hengki Jajang, Ketua FKPPI mengatakan bahwa FKPPI merasa tidak pernah mengintruksikan anggotanya untuk menggelar aksi di depan Asrama Papua Surabaya di Jalan Kalasan pada 16 Agustus 2019.

"Nama ormas FKPPI Surabaya hanya dicatut. Kami tidak pernah menginstruksikan untuk menggelar aksi protes di Jalan Kalasan," kata Hengki.

Baca juga: Kerusuhan Asrama Mahasiswa Papua, Veronica Jadi Tersangka, Tri Susanti dan Syamsul Ditahan

Ia juga mengatakan telah mengeluarkan Tri Susanti dari kepengurusan FKPPI Surabaya sejak Kamis (22/8/2019).

"Ini sudah keputusan organisasi karena yang bersangkutan telah melakukan hal di luar instruksi organisasi dan dampaknya mengancam keutuhan NKRI," ujar dia.

Dikutip dari KompasTV, Tri sempat menjadi salah satu saksi BPN Prabowo-Sandiaga di Mahkamah Konstitusi.

Saat itu, Tri Susanti bersaksi soal daftar pemilih fiktif di lingkungan rumahnya terkait sengketa hasil Pilpres pada Juni lalu.

Baca juga: Polisi Pastikan Tri Susanti Ditahan hingga 20 Hari ke Depan

Tri juga juga pernah mejadi Caleg Gerindra untuk DPRD Surabaya pada Pemilu 2019.

Selain Tri, polisi juga menetapkan Syamsul Arifin salah satu oknum ASN Pemkot Surabaya. Saat pengepungan, Arifin adalah diduga melontarkan ujaran rasis ke mahasiswa Papua. Arifin terekam dalam video yang kemudian tersebar di media sosial.

Pada Selasa (3/9/2019), Syamsul menulis surat pernyataan permohonan maaf yang ditujukan pada seluruh masyarakat Papua.

"Seluruh saudara-saudaraku yang berada di Papua, saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila perbuatan (rasial) yang (diucapkan) tidak menyenangkan," kata Syamsul Arifin, Selasa (3/9/2019).

Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Brigjen Pol Toni Harmanto mengatakan, penahanan terhadap Tri dan Syamsul resmi dilakukan sejak Selasa (3/9/2019).

Baca juga: Ini Fakta Tri Susanti, Tersangka Kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua

 

Veronika Koman, seorang aktivis jadi tersangka

Paspor Veronica Koman ditarik setelah ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur. dok BBC Indonesia Paspor Veronica Koman ditarik setelah ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur.
Seorang aktivis perempuan yang bernama Veronica Koman ditetapkan menjadi tersangka terkait kasus kerusuhan di asrama mahasiswa Papua.

Polisi menyebut Veronica aktif melakukan provokasi melalu media sosial.

Penetapan Veronica setelah penyidik melakukan gelar perkara pada Selasa (3/9/2019) malam.

Kapolda Jatim, Irjen Luki Hermawan mengatakan selain mendalami bukti di media sosial, penetapan tersangka juga didasari dari keterangan 3 saksi dan 3 saksi ahli.

"Sebelumnya, dia dipanggil 2 kali sebagai saksi untuk tersangka Tri Susanti, namun tidak hadir," katanya, Rabu (4/9/2019).

Baca juga: Kapolda Jatim Siap Jemput Veronica Koman Pulang ke Tanah Air

Saat kejadian pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019, menurut Luki, Veronika dikabarkan berada di luar negeri.

Namun walaupun tidak ada di lokasi, Veronica melalui akun media sosialnya disebut sangat aktif mengunggah ungkapan maupun foto yang bernada provokasi. Sebagian unggahan menggunakan bahasa Inggris.

Luki menyebut beberapa postingan bernada provokasi seperti pada 18 Agustus 2019, "Mobilisasi aksi monyet turun ke jalan untuk besok di Jayapura", ada juga "Moment polisi mulai tembak asrama Papua. Total 23 tembakan dan gas air mata".

Baca juga: Mahfud MD Nilai Veronica Koman WNI yang Ingkar Janji

Selain itu, juga ada unggahan "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".

Veronica Koman dijerat sejumlah pasal di 4 undang-undang, pertama UU ITE, UU 1 tahun 46, UU KUHP pasal 160, dan UU 40 tahun 2008.

Rabu (4/9/2019), Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan mengatakan Polri akan bekerja sama dengan Interpol untuk melacak keberadaan Veronica.

Baca juga: Fakta Terkini Kasus Veronica Koman, Resmi Masuk DPO hingga Polisi Minta Bantuan Warga

Ia mengatakan berdasarkan hasil sementara, sebagian konten diduga disebarkan dari Jakarta dan sebagian di luar negeri.

"Ada beberapa jejak digital yang masih didalami, masih ada yang didalami di Jakarta dan beberapa yang memang ada di luar negeri. Itu masih didalami laboratorium forensik digital," tutur Dedi.

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Ghinan Salman, Achmad Faizal, Devina Halim | Editor: Khairina, Robertus Belarminus, Fabian Januarius Kuwado, Aprillia Ika)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com