Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Ones, Guru Pedalaman Papua Dapat Beasiswa di Rusia, Ingin Bangun Sekolah di Kampung Halaman

Kompas.com - 16/12/2019, 09:59 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Onesimus Aluwa, pemuda dari daerah pedalaman Yahukimo, Papua, bercerita tentang keinginannya membangun sekolah di desa asalnya setelah menempuh studi magister melalui beasiswa ke Rusia.

Ones, begitu panggilannya, baru-baru ini tiba di ibu kota Moskow.

Dua tangannya sembunyi di balik jaket, saat salju pertama mulai turun.

"Tidak apa-apa, Kakak. Di Wamena dingin juga, tapi di Moskow memang terlalu dingin," katanya kepada BBC News Indonesia.

Ones menyusuri Tverskaya, kawasan di Moskow, untuk mencari-cari mesin penjual pulsa. Dia agak gelisah, tak sabar lagi ingin mengabari kakak-kakaknya kalau ia sudah sampai di tujuan.

Baca juga: Mengenal Abah Landoeng Guru Asal Bandung, Sosok Inspirasi Lagu Oemar Bakri Ciptaan Musisi Iwan Fals

Ones telah menempuh perjalanan sekitar 11.000 kilometer, dari daerah pelosok di Kabupaten Yahukimo ke Moskow.

Pemuda berusia 25 tahun ini berasal dari Yalmabi, kampung di pelosok Kabupaten Yahukimo yang ditempuh dengan berjalan kaki "satu hari".

"Belum ada jalan yang menuju ke Yalmabi, artinya kalau saya keluar kampung pukul 06:00 pagi, tiba di Yahukimo antara pukul 06.00 atau 07.00 sore."

"Kami masih lewat jalur orang tua dulu, lewat hutan. Ada dua bukit yang besar sekali, tapi setelah itu lurus rata saja jalannya," urai Ones tentang kampung di perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini tersebut.

Baca juga: Warung Makan Milik Pasangan Suami Istri Pemulung Ini Jadi Inspirasi, Begini Ceritanya

Ones ingin membangun sekolah di kampungnya. dok pribadi Onesimus Ones ingin membangun sekolah di kampungnya.
Berbekal beasiswa, ia melanjutkan pendidikan magister bidang pedagogi di kampus pencetak guru terbesar di Rusia, Moscow State Pedagogical University.

"Metode mereka mengajar berbeda. Santai, tidak terlalu ditekan seperti di Indonesia," katanya, walau ia mengakui materi untuk saat ini masih sulit.

"Guru mengajarkan semua pakai bahasa Rusia, saya belum tahu banyak kata-kata," kata Ones. Ia mangatakan keluarga menjadi pemberi semangat untuk melanjutkan studi.

Tidak berkembangnya pendidikan di daerahnya menakutkan buat Ones.

Baca juga: Dedikasi Temu Misti Jadi Inspirasi Festival Tari Gandrung

"Di sana tidak ada perpustakaan. Di sekolah biasa guru mengajar, setelah itu anak-anak belajar di rumah lewat buku catat," katanya.

Di Moskow, ia mengatakan terdapat lebih dari 400 perpustakaan.

"Internet dan WiFi gratis juga lancar, kalau di sana error-error."

Sebelum berangkat ke Moscow, tamatan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kristen, Wamena, ini diperbantukan mengisi kekosongan guru di sebuah sekolah yayasan di Kabupaten Yahukimo setelah lulus sebagai sarjana.

"Status PNS atau status honor juga belum. Hanya bantu saja," urainya.

Baca juga: Inspirasi Aksi Nyata SMP Tenggarong Pulihkan Dampak Karhutla


"Perkembangan rendah tak seperti di Wamena"

Pemuda Papua yang mendapatkan beasiswa di Moskow. BBC News Indonesia/Theresia Waisamon Pemuda Papua yang mendapatkan beasiswa di Moskow.
Dilansir dari BBC Indonesia, Ones bercerita pendidikan di Kabupaten Yahukimo tidak semaju Kabupaten Wamena.

"Siswanya kebanyakan dari kampung, karena di kampung tidak ada guru," kata dia.

"Perkembangan anak-anak rendah sekali, tidak terlalu seperti di kota besar macam Wamena," ujarnya.

Wamena, yang dirujuknya sebagai kota besar, memang "kota terbesar" yang ada di Pegunungan Tengah, Papua.

Bagi Ones, Wamena titik terjauh dari daerahnya.

Baca juga: Ridwan Kamil Sebut Imam Masjid di New York Jadi Inspirasi Program English for Ulama

"Di Moskow, semua bangunannya beda [dengan yang biasa ia temui]. Jalan juga terlalu menarik," kata Ones.

"Pikirnya kalau sudah sampai di Rusia nanti saya naik mobil yang antar-antar saja. Ternyata ada bus, dan kaget-kaget sudah di bawah," terkejut mengetahui keberadaan Metro, layanan kereta api bawah tanah.

Sebelum ikut seleksi beasiswa ke Rusia, Ones bahkan belum pernah melihat langsung ibu kota provinsi, Jayapura, apa lagi Jakarta.

Baca juga: Film Habibie dan Ainun, Inspirasi Membangun Manusia Indonesia lewat Pendidikan


Orang-orang di kampung 'macam terlalu bangga'

Ones di kampung asalnya. BBC Idnoensia/Clara Rondonuwu Ones di kampung asalnya.
Ones mencatatkan diri sebagai orang kedua di kampungnya Yalmabi yang meraih kesempatan melanjutkan pendidikan sampai magister.

September lalu, ia dinyatakan lolos seleksi beasiswa ke Rusia setelah melalui proses seleksi sejak 2018.

"Orang-orang di kampung semangat sekali. Macam terlalu bangga, begitu," ungkapnya.

Menurut Ones, sebelum dia sudah ada warga Yalmabi yang mengenyam pendidikan magister di Selandia Baru.

Ones bercerita saat lukus SD Ones bertolak dari kampung melanjutkan pendidikan sampai sarjana di Wamena atas desakan kakak-kakanya.

Baca juga: Saat Kelebihan Bandung Jadi Inspirasi untuk Pemerintah Kota Surakarta

"Kakak pengaruhi orang tua untuk harus kirim saya ke sekolah. Orang tua terima dan kasih masuk saya di sekolah," kata dia.

Tapi, lanjut Ones, kakak yang membiayainya dari SMP sampai kuliah semester tiga sudah meninggal.

"Kami ada tujuh bersaudara, tapi yang masih ada tiga. Dua kakak perempuan dan dua kakak laki-laki sudah meninggal. Kalau Mama [meninggal] tanggal dua September tahun ini."

Kabar meninggalnya sang kakak saat Ones sedang di Jayapura untuk mengurus keberangkatannya ke Rusia.

Baca juga: Indeks Kerukunan Umat Beragama 2019 Versi Kemenag: Papua Barat Tertinggi, Aceh Terendah

"Saya dengar mama sakit dan langsung pulang kampung. Setelah itu mama sudah meninggal," kata Ones, tatapannya kosong.

Satu dari 10 kabupaten dengan Indeks Pembangunan Manusia terendah di Indonesia adalah Kabupaten Yahukimo. Hal tersebut menyebabkan Desa Yalmabi di Yahukimo tak hanya kesulitan  mengakses pendidikan, tapi juga fasilitas kesehatan.

"Tidak ada tim medis di kampung," imbuhnya.

Baca juga: Komunitas Guru Dukung Gebrakan Merdeka Belajar Mendikbud Nadiem

 

'Pulang bangun sekolah'

Ones di kereta bawah tanah Moskow. dok pribadi Onesimus Ones di kereta bawah tanah Moskow.
"Kalau kita hanya menonton, setelah tahu kita tidak bisa tidak berbuat apa-apa, itu mematikan diri kita sendiri."

Kepada Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan yang baru, ia ingin mengingatkan penyesuaian dalam buku-buku pendidikan di Indonesia.

Ia mencontohkan moda transportasi di pegunungan Papua yang masih terbatas.

"Macam contohnya begini, ada kalimat ibu pergi naik kereta. Di Papua tidak ada kereta, anak-anak bingung dan guru tidak mengerti juga. Kalau bisa, saya tidak tahu apa ada rencana bikin kurikulum baru, sesuaikan dengan konteks yang ada di daerah masing-masing."

"Yang selalu ingatkan saya untuk tidak menyerah dan maju terus itu pikiran tadi, setelah saya selesai saya ingin menyerap metode-metode mengajar dari sini setelah itu pulang ke sana bangun sekolah. Kalau saya tidak selesai, itu tidak akan ada. Jadi itu yang tantang saya terus," katanya.

"Saya cuma ingin bertahan, dari pikiran itu saya jadi terpacu belajar banyak."

Baca juga: SMA Selamat Pagi Indonesia, Inspirasi Kolaborasi Pendidikan Indonesia

 

'Bukan keputusan bagus'

Ones dan Rex Rumabar, mahasiswa Papua yang mendapat beasiswa di Moscow. dok pribadi Onesimus Ones dan Rex Rumabar, mahasiswa Papua yang mendapat beasiswa di Moscow.
Terkait dengan pulangnya sekitar 2.000 mahasiswa Papua dari Jawa dan pulau lain setelah dugaan kasus rasis di Surabaya Agustus lalu, Ones mengatakan itu bukan keputusan tepat.

"Saya juga kan orang dari Papua, saya juga pikir ke situ. Tapi secara pribadi, menurut saya untuk putus sekolah, baru pulang, itu bukan keputusan yang bagus. Belum saatnya, karena kita masih belum siap. Masih banyak yang harus dibangun," kata dia.

"Belajar banyak, setelah itu baru bisa."

Total ada 25 pelajar asli Papua yang dinyatakan lolos seleksi beasiswa ke Rusia, pada September lalu.

Baca juga: Perkenalkan, Ini Dua Maskot untuk PON XX Papua 2020

Pendanaannya ada yang bersumber dari beasiswa penuh Pemerintah Papua, ada pula yang dari beasiswa bersama antara pemerintah Rusia dan Papua.

Para pelajar tersebut datang bertahap ke Rusia, kemudian disebar ke berbagai kota, terentang antara Kaliningrad dan Siberia.

Ones salah satu yang tiba pertama.

Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Rusia, merangkap Belarus, Azis Nurwahyudi, menilai kedatangan pelajar-pelajar asal Papua langkah positif, khususnya dalam memperkenalkan Indonesia secara utuh.

Baca juga: 42 Tahun Tinggal di Papua dan Dirikan 7 Sekolah, Pria Asal Amerika Ini Resmi Jadi WNI

"Rusia sangat potensial, tidak kalah mutu pendidikannya. Hadirnya anak-anak Papua semakin memperlihatkan betapa beragamnya Indonesia," kata Aziz.

Tahun ini, jumlah penerima beasiswa asal Papua meningkat tajam, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya satu atau dua orang.

Pelajar Papua yang pertama kali tiba di Rusia pada 2014 adalah Ebius Kogoya yang menyelesaikan magister di Cherepovets State University dan John Gobai yang juga menamatkan studi magister bidang Fisika di Peter The Great St Petersburg Polytechnic University.

Satu lagi yang lulus tahun ini, Agustinus Yahya Tenouye, dari studi magister bidang Kebijakan Publik di National Research University, Higher School of Economics.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com