Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan Jaksa KPK Tuntut Mantan Kepala Imigrasi Mataram 7 Tahun Penjara

Kompas.com - 12/12/2019, 19:31 WIB
Fitri Rachmawati,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

MATARAM, KOMPAS.com- Tuntutan tujuh tahun penjara untuk mantan Kepala Imigrasi Kelas I A Mataram, Kurnadie dan lima tahun penjara untuk anak buahnya, Kasi Inteldakim non aktif Kantor Imigrasi Mataram, Yusriansyah Fazrin,  bukan tanpa alasan.

Alasan utamanya adalah keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi dan menyalahgunakan kewenangannya sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Meski demikian, Imam Sofyan, kuasa hukum Kurnadie, Kamis (12/12/2019), tetap akan mengupayakan pembelaan untuk Kurnadie.

Begitu juga dengan kuasa hukum Yusriansyah, Salahuddin Gafar.

"Kami akan siapkan pembelaan sebaik mungkin, nanti tunggu pekan depan saja," kata Imam, saat dihubungi.

Baca juga: Kasus Suap, Mantan Kepala Imigrasi Mataram Dituntut 7 Tahun Penjara

Dasar tuntutan yang dibeberkan JPU KPK dalam persidangan, Rabu (11/12/2019), bahwa selain memuluskan langkah atasanya menerima suap sebesar Rp 1,2 miliar, Yusriansyah juga menerima bagian dari uang suap itu.

Jika terdakwa Kurnadie menerima Rp 800 juta, dan dikembalikan Rp 150 juta oleh istri terdakwa, demikian juga dengan Yusriansyah menerima Rp 300 juta.

Hanya saja Rp 299 juta telah dikembalikan, masing masing Rp 80 juta oleh istri terdakwa, Rp 255 juta disita dari terdakwa, dengan rincian penyitaan Rp 3 juta hingga 85 juta.

Dalam dakwaan, disebutkan terdakwa juga menerima uang Rp 100 juta, dimana Rp 84 juta diberikan atau dibagi-bagikan kepada para pejabat Imigrasi Mataram.

Selain uang suap dari Liliana Hidayat yang diterima Kurnadie,  berdasarkan fakta hukum dalam tuntutan jaksa, terkuak bahwa mantan Kepala Imigrasi itu kerap menerima uang dari pungutan tidak resmi atau pungutan liar, atas jasa pelayanan dari masing masing seksi di Kantor Imigrasi Mataram.

"Sejak Januari 2019 hingga April 2019, terdakwa menerima uang dari pungutan tidak resmi, atas jasa pelayanan masing masing seksi yang jumlahnya mencapai  Rp 359 juta," ungkap JPU KPK, Taufik Ibnugroho.

JPU KPK berkesimpulan bahwa tindakan kedua terdakwa telah memenuhi unsur melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi, sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang RI nomor 20/2001 juncto pasal 55 ayat (1) KUHP.

Jaksa juga menyebutkan bahwa yang memberatkan terdakwa Kurnadie dalam persidangan adalah karena ia tetap tidak mengakui perbuatannya.

Sementara yang meringankannya hanya karena bersikap sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.

Kuasa hukum sebut tuntutan tak adil

Salahuddin Gaffar, kuasa hukum Yusriansyah menilai, tuntutan jaksa terhadap Yusriansyah berupa lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta, serta pidana tambahan membayar uang penganti sebesar Rp 124 juta sangat tidak adil dan terlalu berat.

"Ini sudah pasti tidak adil. Semua sudah terbuka, Yusriansyah hanya menjadi transit dari terdakwa, hanya melaksanakan perintah atasannya. Yusriyansah sudah membuka semua yang terlibat dalam kejadian itu," Kata Salahuddin.

Dia mengatakan bahwa Yusriansyah tidak punya kehendak karena hanya bawahan. Tapi sebagai kuasa hukum dia tetap akan menyiapkan pembelaan dengan sebaik baiknya.

Hakim tipikor tunggu pembelaan

Pembelaan dari kuasa hukum kedua terdakwa, ditunggu Ketua Majelis Hakim, yang juga Kepala Pengadilan Negeri Mataram,  Isnurul Syamsul Arif sebelum bulan Desember 2019 berakhir.

"Jadi kami menunggu pledoi atau pembelaan dari terdakwa dan kuasa hukum, jika bisa sebelum akhir tahun ya," kata Isnurul.

Kedua terdakwa Ini sebelumnya saling bekerjasama dalam menangani kasus pelanggaran izin tinggal warga negara asing (WNA) di wilayah Sekotong Lombok Barat.

Masing-masing bernama Bower Geoffery Willian (60) asal Australia dan Manikam Katherasan (48) asal Singapura.

Baik Kurnadie maupun Yusriansyah bersekongkol menerima suap dari Liliana Hidayat (42), Direktur PT Wisata Bahagia Indonesia (PT WBI), terkait kasus izin tinggal WNA itu sebesar Rp 1,2 miliar.

Atasan dan bawahan ini terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 27 Mei 2019, hingga kini duduk di kursi terdakwa, menunggu putusan hakim yang tinggal menghitung hari.

Saat pembacaan tuntutan terhadap Yusrianyah setelah Kurnadie, suara tangis pecah di kursi bagian belakang ruang sidang.

Salah seorang keluarga Yustiansyah menutup wajahnya, menahan suara tangisnya agar tidak  menganggu ruang sidang.

Setelah sidang berakhir dan hakim mengetuk palu, tangis dua anggota keluarga dekat Yusriansyah kembali pecah. Yusriansah nampak pasrah dan meminta keduanya bersabar.

Kepada Kompas.com ketika itu, Yusriansyah memilih tidak berkomentar, dan langsung menuju ruang tahanan Pengadilan Tipikor Mataram.

Baca juga: Mantan Kepala Imigrasi Mataram Minta Uang Rp 1,2 M Bentuk Dollar AS karena Lebih Tipis

Berbeda dengan Kurnadie, tiap persidangan nampak sendiri. Hanya kuasa hukumnya Imam Sofyan yang mendampingi.

Seperti halnya Yusriansyah, Kurnadie juga tak pernah berkomentar terkait kasusnya, termasuk soal tuntutan tujuh tahun.

Iman mengatakan, akan menyiapkan pembelaan untuk Kurnadie, agar hukumannya tidak terlalu berat.

Soal pengembalian dana ratusan juta rupiah itu, Imam mengatakan sebagain uang itu telah disita jaksa, tinggal membayar sisanya saja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com