Kalau nasional, kata dia, berarti seluruhnya kena. Ketika kabupaten, yang mati tidak sebanyak referensi hitungan para ahli.
Baca juga: Sebanyak 5.800 Ekor Babi Mati di Sumut, Distribusi Ternak Diperketat
Menurutnya, keterlambatan (declare) itu membawa dampak buruk dan dampak baiknya. Dampak buruknya, teman-teman di lapangan tidak memiliki kekuatan untuk pendekatan kepada berbagai pihak.
"Katakanlah dalam hal anggaran. Dampak baiknya, sekarang bisa mengetahui case-nya di mana. Tapi harus di-declare itu statusnya apa (ASF atau bukan)," katanya.
Agustia mengatakan, ketika sudah di-declare, berarti yang harus dilakukan adalah bio security dimulai dari skala kandang. Pasalnya, jika satu sudah terkena maka satu kandang itu harus habis. Dengan catatan yang di kandang tak boleh keluara agar tidak menyebar.
"Jadi kalau sudah di-declare, itu yang hidup harus dihabiskan dan di tempat itu, dilakukan pengosongan dari ternak babi bisa 2 - 3 bulan. Setelah itu diletakkan hewan sentinel untuk memastikan tidak ada lagi satu pun virus di situ," katanya.
Memang, kata dia, kalau tidak di-declare maka penanganan kematian babi akan mengalami kendala anggaran dan kendala teknis.
Pemerintah di daerah harus menunggu dari pusat.
Namun menurutnya, sudah ada surat edaran dari Mendagri, Tito Karnavian kepada seluruh Gubernur terkait ASF yang dalam klausulnya menyebutkan untuk menggunakan APBD saat terjadi wabah seperti ini.
Dengan surat edaran itu, daerah bisa mengambil langkah-langkah penanganan.
"Sejauh ini, anggaran, daerah minim. Jangankan APBD provinsi, pusat juga begitu. Sudah ada kamarnya masing-masing. Dengan case begini, misal di sini ada lebih sedikit tarik ke sini. Pusat lebih fleksibel, daerah tidak," katanya.
Baca juga: Terserang Hog Cholera, Babi yang Mati di Sumut Capai 22.985 Ekor
Terkait virus ASF ini, di Indonesia belum pernah terjadi, melainkan baru terindikasi. Sementara yang sudah positif adalah hog cholera atau kolera babi.
"Sekarang declare pun, apakah akan berhenti, nggak juga. Jadi bukan itu. Kita dengan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan sepakat untuk tetap melakukan kegiatan pengendalian supaya tidak meluas," katanya.
Ketika sudah di-declare kemudian ada pemusnahan, pertimbangan lainnya adalah mengenai keuangan negara.
"Cukupkah menggantikan babi yang dimusnahkan. Kedua, dalam UU, untuk pengantian ternak itu adalah yang ternak yang sehat, yang terancam. Bukan yang sakit. Tapi dari segi sosiologi masyarakat, siap tidak melihat ada tak usah lah ribuan, 700 saja babi hidup dimusnahkan," katanya.
Agustia mengatakan, sudah ada beberapa negara yang terkena serangan ASF dan melakukan pemusnahan terhadap babi-babinya. Di antaranya China, Vietnam, Kamboja.
"Tapi berhenti kah kah kasusnya? Tidak berhenti. Sampai sekarnag masih ada. Yang sekarang dilakukan adalah membungkus yang 16 ini, jangan sampai bertambah. Disitu lah pentingnya bio security, jangan saling melihat dulu, jangan ada yang keluar atau masuk dari dan ke daerah yang ada virus kematian babi," katanya.
Baca juga: Warga Enggan Makan Ikan, Takut Kena Virus Demam Babi Afrika dari Bangkai Babi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.