Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jumlah Kematiannya Meningkat, Babi di Sumut Terancam Musnah

Kompas.com - 12/12/2019, 17:44 WIB
Dewantoro,
Farid Assifa

Tim Redaksi

 

MEDAN, KOMPAS.com - Sejak kematian babi secara serentak tercatat di Dairi pada 25 September yang lalu, sampai saat ini peristiwa serupa masih terjadi. Bahkan, jumlah babi yang mati kian bertambah dan penyebabnya belum pasti.

Babi-babi yang mati itu menyebar di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara.

Hingga per 11 Desember, akumulasi kematian babi yang terlapor mencapai 27.070 ekor atau sekitar 2,7 persen dari total populasi sebanyak 1.229.742 ekor. 

Hal itu disampaikan Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia kepada wartawan saat ditemui di kantornya di Jalan Gator Subroto, Medan, Kamis (12/12/2019).

Angka kematian babi tersebut naik dari sehari sebelumnya sebanyak 25.656 ekor. Angka tersebut, menurutnya, adalah angka yang terlapor.

Baca juga: Terserang Hog Cholera, Babi yang Mati di Sumut Capai 22.985 Ekor

 

Pihaknya yakin masih ada warga yang tidak melaporkan kematian babinya karena faktor jarak atau lokasi.

"Kalau sebelumnya 25.000 yang mati, memang sebegitu cepatnya lah kematiannya di 16 kabupaten/kota," katanya.  

Diketahui, 16 kabupaten tersebut yakni Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Tebing Tinggi, Siantar dan Langkat.

"(Sebanyak) 16 kabupaten/kota itu memang kantong ternak babi atau populasi babi di Sumut," katanya. 

Angka kematian itu sudah dilaporkan ke Direktur Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian.

Berdasarkan penelitian, penyebab kematian babi diduga dari African Swine Fever (ASF). Namun keputusan mutlaknya berada di Jakarta (Menteri Pertanian).

Mengingat, pernyataan (declare) atas penyebab kematian babi di Sumut akan berdampak besar dan tidak bisa serta merta dikeluarkan.

 

"Sumut itu punya 33 kabupaten/kota. Kematian babi ini terjadi hanya di 16 kabupaten. Kita fokus menjaga 16 ini, jangan sampai bertambah," katanya. 

Ketika ditanya apakah jumlah kematian akan terus bertambah, Agus mengatakan kemungkinan besar iya.

"Berdasarkan ilmunya, ini akan habis semua. Karena pemain di case ini hog cholera ada, penyakit bakterial ada, ASF juga terindikasi. (Apakah declare menunggu habis semua) enggak, ini masih terus dibahas," katanya. 

Agustia menambahkan, kematian babi ini pernah terjadi pada tahun 1993-1995 yang disebabkan oleh virus hog cholera. Saat itu, populasi babi di Sumut habis.

Seorang tua di Dairi, kata dia, mengatakan saat itu untuk pesta adat masyarakat menggunakan babi hutan.

"Artinya masyarakat itu menerima sebagai musibah. Yang kita harapakan sekarang ini, yang mati jangan dibuang sembarangan," katanya. 

Kepala Bidang Kesehatan Hewan, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara, Mulkan Harahap, mengatakan, dua hari yang lalu, pihaknya mengirimkan laporan tentang kematian ternak babi hingga 10 Desember sebanyak 25.656 ekor di 16 kabupaten/kota.

Baca juga: Kapolda Sumut: Terkait Kasus Bangkai Babi, Ada Dugaan Keterlibatan Pelaku Usaha

 

Jumlah kematian tertinggi terjadi di Deli Serdang sebanyak 7.307 dari populasi 57.361 ekor. 

Diberitakan sebelumnya, kematian babi di Sumut yang tercatat terjadi sejak 25 September lalu.

Menurut Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Azhar Harahap, kematian ribuan ternak babi itu disebabkan virus hog cholera.

Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia mengatakan, selain disebabkan virus hog cholera, pihaknya menemukan indikasi virus ASF. Namun yang berhak menyatakan (declare) ASF adalah Menteri Pertanian. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com