Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tren Batik Pewarna Alami di Cirebon, Tradisi Masa Lalu yang Selaras dengan Alam

Kompas.com - 12/12/2019, 15:16 WIB
Rachmawati

Editor

Aryono menyebut tantangan ke depan terkait penggunaan pewarna alami adalah mengubah pola pikir konsumen untuk menerima produk yang ramah lingkungan karena harganya lebih mahal.

Sementara itu Ai Sugiura dari kantor UNESCO Jakarta mengatakan pengembangan batik ramah lingkungan bisa disebut sebagai ekonomi sirkular karena menggunakan panduan untuk pembuatan keputusan.

“Dalam model ini, pengelolaan limbah, desain produk hulu, dan pengembangan layanan dibuat dengan upaya memperpanjang masa guna produk, mengurangi penggunaan sumber daya alam, dan pada sisi lain menciptakan lapangan kerja dan mendukung upaya pengurangan kemiskinan,” kata Sugiura.

Baca juga: Batik dengan Pewarna Alami Bernilai Lebih Tinggi

 

Kembali ke tradisi masa lalu

Sukmono Fajar Turido dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan ada 200 jenis kain tradisional di Indonesia yang menggunakan tekhnik pewarnaan alami.

Menurutnya ada beberapa hal yang membuat penggunaan warna alami untuk kain berkurang.

Salah satunya adalah hilangnya tanaman tradisional saat hutan diubah menjadi perkebunan. Selain itu, pola pewarisan kekayaan tekstil tradisional tidak dilakukan secara maksimal.

“Kalau kita melihat ibu-ibu duduk di teras rumah adat, bersenandung menggendong bayi sambil menenun kain, kita anggap itu mengisi waktu luang, tidak bekerja. Tetapi dalam konteks kebudayaan, mereka profesional. Justru saat menenun itu, mereka mewariskan nilai-nilai. Jadi, sudut pandang kita harus berubah,” kata Fajar.

Baca juga: Yuk Tonton Merapah 5 Warisan Budaya Batik ke Cirebon, Pekalongan, dan Lasem

Sementara itu PM Laksono antropolig dari UGM mengatakan warna memiliki peran besar dalam masyarakat tradisional karena mewakili filosofi tertentu.

Ia mencontohkan masyarakat Jawa yang mengenal lima warna atau panca warna yakni hitam, merah, kuning, putih, dan satu warna campuran dari empat warna tersebut.

“Keempat warna itu adalah gambaran hati nurani manusia,” ujar PM Laksono.

Selain itu masyarakat tradisional percaya bahwa warna dari bahan alami muncul dari matahari melalui proses fotosintetis.

Baca juga: Pakai Batik, PM Belanda Disambut Jokowi di Istana Bogor

Laksono mengatakan kala itu para ahli warna yang mampu memunculkan warna-warni dari bahan alam, memiliki posisi sosial cukup tinggi.

“Para penemu warna zaman dahulu itu sering disamakan dengan orang yang sakti, alkemis. Karena dia bisa secara ajaib memindahkan warna yang ada pada proses alami ke dalam substansi material, dalam kain, dan semacamnya. Ahli warna itu statusnya tinggi sekali,” tambahnya.

Ia menjelaskan warna sintetis muncul pada pertengahan abad ke-19 dan menggeser posisi pewarna alami.

Baca juga: Batik Music Festival Suguhkan Tiga Mahakarya dalam Satu Waktu

Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia.

Jika saat ini ada tren kembali ke pewarna alami, Laksono mengatakan sebenarnya mereka telah kembali ke tradisi masa lalu.

Hal tersebut juga salah satu upaya agar masyarakat kembali hidup selaras dengan alam.

Baca juga: Mendikbud: Jangan Sampai Batik Diambil Alih Negara Lain

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com