Menurut Misnen, untuk pewarna alami para pembatik menggunakan mangga, indigo (nila), jambu dan ketapang. Mahoni, nangka, tegeran, merbau, tingi dan jolawe diambil kulit batang kayunya.
Sedangkan rambutan, manggis, jengkol, tepes, dan kelapa dimanfaatkan kulit buahnya.
“Benar-benar limbah yang dimanfaatkan kembali. Dan sumbernya bisa dari bagian daun, kulit batang dan kulit buah, bahkan jengkol dan rambutan ketika musimnya. Yang paling banyak memang mahoni dan indigo sama mangga. Hasil kajian kita pernah mengeksplorasi sekitar 23 jenis tanaman di sana yang bisa dipakai,” kata Misnen.
Baca juga: Oker, Pewarna Alami Tertua yang Dipakai sejak Ratusan Ribu Tahun Lalu
Di acara yang sama, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Sleman, Pustopo berbicara mengenai tata kelola batik ramah lingkungan di wilayahnya.
Hal tersebut dilakukan setelah muncul dampak buruk industri batik pewarna sintetis di kawasan tersebut.
“Batik Sleman dengan warna sintetis jumlahnya kita identifikasi 50 kelompok. Kalau satu kelompok ada 20 orang, sudah berapa? Kalau dia memproduksi setiap hari dengan sintentis, kemudian limbahnya dibuang begitu saja, minimal sumur miliknya sendiri akan tercemar. Dan lebih tragis, perajin batik itu kecenderungannya mendekati daerah aliran sungai. Bagaimana kalau itu dibuang ke aliran sungai?,” jelas Pustopo.
Baca juga: Pewarna Alami dari Buah dan Tangkai Bakau Ini Disukai di Eropa
Menurutnya banyak masyarakat yang mengeluhkan aliran sungai yang berubah warna warni sesuai dengan jenis limbah batik yang dibuang.
Padahal Sleman berada di kaki Gunung Merapi dan suangainya mengalir melewati Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul sebagai hilir.
Limbah tersebut berdampak buruk pada lingkungan dan menimbulkan protes dari warga yang tinggal di kawasan lebih rendah.
“Karena itulah kita membuat regulasi, tata kelola batik. Wajib menggunakan green batik. Boleh memproduksi dengan warna sintesis, tetapi minimal separuh harus green batik,” ujar Pustopo.
Baca juga: Batik dengan Pewarna Alami Indonesia Memesona Publik Swedia dan Latvia
Aryono Setiaji dosen Politekhnik ATMI Solo mengatakan perlu dilakukan rekayasa mesin baru yang mendukung penggunaan pewarna alami.
Ia menjelaskan mesin untuk pewarnaan sintetis, tidak bisa dipakai untuk warna alami karena karakter keduanya berbeda.
“Kami sebagai perekayasa memang betul-betul harus berkolaborasi. Jadi memang itu kolaborasi yang harus intens, supaya kita bisa mengkreasikan mesin baru yang cocok dan kemudian siap untuk dikomersialisasikan. Untuk realisasi prototyping mesin pertama ini kami targetkan antara 6 sampai 8 bulan,” ujar Aryono.
Ia mengatakan produsen busana dari Swedia telah sepakat untuk terlibat dalam pengembangan pewarnaan warna secara alami.
Baca juga: Ini Dia Pewarna Alami Batik Sejak Abad Ke-18
Mereka memahami bahwa masa depan bisnis busana dengan pewarna alami cukup baik.