Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebun Amarilis Milik Sukadi, Viral karena Diinjak-injak Pengunjung hingga Jadi Ikon Gunungkidul

Kompas.com - 06/12/2019, 18:01 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com — Kebun bunga amarilis milik Sukadi di Desa Salam, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, sempat viral pada tahun 2015 lalu karena diinjak-injak oleh pengunjung.

Sukadi adalah pemilik kebun bunga amarilis yang terapat di Gunungkidul. Ia juga yang mengawali penanaman amarilis di wilayah tersebut.

Setelah kebunnya viral karena diinjak-injak, Sukadi banyak dihubungi oleh banyak orang.

Salah satunya adalah warga keturunan Indonesia yang tinggal di Jerman yang memberi Sukadi modal untuk menanam bibit amarilis.

Baca juga: Kisah Sukadi Pemilik Kebun Amarilis, Awalnya Dicibir Sekarang Dicintai

Ia juga banyak mendapatkan bantuan dari lembaga dan komunitas. Bantuan tersebut ia gunakan untuk membeli umbi amarilis.

Sukadi pun terus menanam bunga amarilis hingga sekarang.

"Dua tahun setelah menikah, tepatnya tahun 2002, saya berpikiran menyelamatkan tanaman yang dianggap gulma oleh masyarakat," kata Sukadi.

Saat ini di pekarangan seluas 3.000 meter persegi milik Sukadi, ada sekitar 500.000 umbi amarilis.

Untuk masuk kebun bunga amarilis, Sukadi memasang tarif Rp 10.000 per orang. Sedangkan untuk mendapatkan bibit amarilis, pengunjung bisa membeli dengan harga Rp 5.000 sampai Rp 15.000.

Untuk mengantisipasi kerusakan akibat terinjak wisatawan, Sukadi menyiapkan jalur khusus.

Saat ini bunga amarilis menjadi ikon baru Gunukidul hingga dibuat motif batik.

Baca juga: Bunga Amarilis Kembali Mekar di Gunungkidul Yogyakarta, Yuk Lihat!

 

Buat gunungan dari bunga amarilis

Sukadi dan Wartini orang yang pertama Mengembangkan Bunga Amarilis ditemui di Desa Salam, Kecamatan Patuk, Gunungkidul Jumat (6/12/2019)KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO Sukadi dan Wartini orang yang pertama Mengembangkan Bunga Amarilis ditemui di Desa Salam, Kecamatan Patuk, Gunungkidul Jumat (6/12/2019)
Kepada Kompas.com, Jumat (6/12/2019), Sukadi bercerita, pada tahun 1970-an bunga amarilis banyak ditemui di wilayah tersebut. Bunga amarilis dikenal dengan nama brambang procot dan puspa patuk.

Oleh para petani, tanaman tersebut dibabat habis karena dianggap gulma.

Pada tahun 2003, Sukadi sempat berjualan bibit amarilis di pinggir jalan jalur Yogyakarta-Wonosari.

Sebulan berjualan, ia hanya mendapatkan Rp 125.000. Ia bercerita, tidak ada orang yang tertarik membeli bibit amarilis. Ia melakukan hal tersebut untuk menyelamatkan amarilis yang dianggap gulma oleh warga.

Baca juga: Kembali Mekar, Kebun Amarilis Diserbu Pengunjung

Saat itu berhasil membeli 2 ton umbi amarilis dari uang hasilnya bekerja sebagau penjual mainan.

Di sela pekerjaannya sebagai penjual sayuran dan mainan anak, Sukadi dan istrinya mengolah lahan pekarangannya untuk ditanami umbi amarilis.

Bahkan ia memilih menitipkan anaknya ke orangtuanya agar fokus merawat lahannya.

Tahun 2014, bunga amarilis yang ditanam Sukadi mulai tumbuh.

Saat kirab budaya di desanya pada 15 November 2015, Sukadi dan beberapa warga membuat gunungan dari bunga amarilis.

Hingga kemudian kebun amarilis milik Sukadi viral di media sosial.

Baca juga: Setelah Heboh Amarilis, Akankah Taman Eceng Gondok Ini Dirusak Aksi Selfie?

Kebun Amrilis Milik Sukardi di Patuk, Gunungkidul Jumat (6/12/2019)KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO Kebun Amrilis Milik Sukardi di Patuk, Gunungkidul Jumat (6/12/2019)
Pada tahun 2019, Sukadi bercerita, curah hujan di Gunungkidul sangat minim. Hal tersebut membuat bunga amarilis mekar tidak sempurna.

Ia memilih membeli air bersih dari tangki untuk menyirami bunga amarilis.

"Pengunjung tak seramai tahun lalu. sekarang setiap hari hanya ratusan. Tahun lalu bisa mencapai ribuan orang per hari. Ini karena bunganya tidak mekar bersamaan," kata Sukadi.

Selain di Putuk, Sukadi juga mengembangkan ratusan ribu umbi amarilis di kawasan Kecamatan Tanjungsari.

"Sekarang di sekitar sini, rumah-rumah penduduk mereka menanam amarilis, bisa dicek, setiap rumah pasti ada beberapa bunga amarilis. Awalnya gulma, sekarang menjadi primadona," ujar Sukadi.

Baca juga: Fakta Masjid Megah di Tengah Hutan Gowa, Dibangun Pengusaha Dermawan di Kebun Kopi Seluas 5 Hektare

SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Markus Yuwono | Editor: Abba Gabrillin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com