Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Cara Mencegah Terserang Difteri sejak Dini

Kompas.com - 06/12/2019, 15:33 WIB
Dewantoro,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com — Empat orang yang masih satu keluarga di Simalungun, Sumatera Utara, terjangkit infeksi difteri.

Keempatnya kini tengah menjalani perawatan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Awalnya, pihak rumah sakit menerima pasien anak berusia empat tahun berinisial HS.

Saat tiba, kesadaran HS menurun, mendengkur, sesak napas, leher membengkak, dan bercak berwarna hitam keabuan di tenggorokan.

Setelah dua hari perawatan, HS mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 04.00 WIB.

Kassubag Humas RSUP Haji Adam Malik Rosario Dorothy Simanjuntak mengatakan, setelah HS meninggal dunia, kemudian datang pasien lainnya yang merupakan saudara kandung HS, berinisial YS (6), RS (3), dan MS (2).

Baca juga: 4 Anak di Simalungun Terjangkit Difteri, 1 Meninggal Dunia

Ketiganya dirawat di RSUP Haji Adam Malik, Selasa (3/12/2019).

Pasien YS masuk terlebih dahulu pada pukul 04.43 WIB. Saat dirawat di rumah sakit, kondisi YS memang sudah cukup membaik.

YS tidak lagi demam, dan kini dia bisa menelan. Bengkak di leher juga sudah berkurang.

Hal serupa dialami RS yang masuk ke rumah sakit pada pukul 13.06 WIB dan MS pada pukul 15.28 WIB.

"Saat ini sampel swab tenggorokan sudah diambil sesuai prosedur penanganan pasien suspect difteri. Hasilnya baru dapat diketahui dalam tujuh sampai 14 hari ke depan," ujar Rosario.

30 pasien difteri

Dokter spesialis anak yang juga konsultan infeksi tropis RSUP HAM, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu, mengatakan, sejak 2017, RSUP HAM telah merawat 30 anak karena difteri.

Ada satu yang meninggal dunia. Penyakit yang disebabkan bakteri ini menyerang dengan cepat. Namun, bisa ditangani dengan imunisasi.

"Saat ini baru satu yang meninggal dunia, itu pun karena terlambat. Kalau datangnya cepat, bisa ditata laksana dengan bagus, pasien bisa pulang (sembuh)," ujar Ayodhia kepada wartawan, Jumat (6/12/2019).

Difteri, kata dia, adalah satu penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Harusnya penyakit ini sudah tidak ada lagi.

Jika penyakit ini muncul, artinya cakupan imunisasi tidak terlau baik. Ketika ada satu kasus difteri, berarti akan ada kasus-kasus lain.

Penanganan difteri

Penanganan difteri tidak bisa dalam satu atau dua tahun.

Ayodhia mencontohkan, negara Rusia membutuhkan waktu hingga 10 tahun. Indonesia mungkin butuh waktu yang lebih panjang.

"Jadi kita akan tetap punya kasus kalau cakupan imunisasinya tidak ditingkatkan," ujar dia.

Ayodhia menjelaskan, pasien difteri berkaitan dengan imunisasi.

Pasien yang tidak imunisasi beresiko terserang lebih besar. Begitu halnya dengan yang imunisasi tidak lengkap.

"Pasien-pasien difteri yang tidak mendapatkan imunisasi maka akan lebih jelek dan angka kematiannya besar, jadi itu yang kita dapatkan pasien di sini," ujar Ayodhia.

Dia mencontohkan kasus difteri dalam satu keluarga dari Simalungun, yang kini dirawat di RSUP HAM, HS tidak diimunisasi.

Baca juga: Beredar Pesan Berantai soal Difteri Serang 600 Warga di Solo, Ini Penjelasan Dinkes

 

Kedua adiknya diimunisasi, tetapi tidak lengkap.

"Kita tidak bisa nilai juga kalau imunisasinya tidak lengkap, tentu risikonya hampir sama dengan yang tak dapat imunisasi," kata Ayodhia.

Obat tersedia

Ayodhia mengatakan, pihaknya tidak pernah kekurangan obat karena selalu berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sumut.

Pihaknya juga selalu ada evaluasi ketersediaan obat. Jika kurang, pihaknya akan meminta tambahan dari Dinas Kesehatan Sumut.

"Obat untuk difteri ada dua, satu antibiotik, karena ini bakteri, maka harus masuk antibiotik agar bakterinya mati. Kedua, antidifteri serum, untuk membunuh racun yang dihasilkan oleh bakteri. Itu yang didapat dari Dinkes dan itu cukup untuk semua pasien (difteri) di sini," katanya.

Ayodhia menambahkan, difteri disebabkan oleh bakteri, bukan virus, sehingga pilihan obatnya adalah antibiotik.

Bakteri ini, menurut dia, sangat mudah menular dan menimbulkan gejala dalam waktu cepat.

Bakteri itu ada di udara. Maka orang yang bisa kebal dari difteri itu adalah yang sudah punya proteksi dengan imunisasi.

Imunisasi untuk difteri bisa diberikan saat anak berusia dua bulan dan empat bulan.

Kemudian, ada ulangan pada kelas 5 SD. Jika imunisasi selesai, risiko terinfeksi difteri semakin minim.

Penularan itu bisa lewat batuk atau bersin. Jika ada yang sakit tentu harusnya tidak bertemu dengan orang lain.

Jika bersin maka kuman akan berpindah ke orang lain lewat udara.

Bagi penderita difteri akan muncul gejala seperti flu biasa, batuk, pilek, dan demam, tetapi tidak tinggi.

"Kalau ada yang demam yang tidak tinggi kemudian disertai batuk dan bersin lalu nyeri saat menelan, sebaiknya cepat ke pusat kesehatan supaya langsung dapat pemeriksaan," ujar Ayodhia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com