Menurut Sukadi, jika sejak tahun 70an amarilis tidak dibasmi, mungkin ada miliaran bunga amarilis yang sudah menjadi ikon di Gunungkidul.
Dicibir orang lain
Masih membekas kuat diingatan Sukadi saat dicibir oleh tetangga hingga saudara, karena dirinya mengumpulkan gulma.
Puncaknya pada 15 November 2015. Saat itu ada kegiatan kirab budaya di desanya.
Dirinya bersama beberapa warga membuat gunungan dari bunga amarilis. Namun, saat dijalankan, sebagian masyarakat mencibirnya.
Namun hal itu tidak membuatnya bergeming. Ia tetap melanjutkan mengembangkan amarilis.
"Dulu awal-awal ada yang memanggil saya bram yang berarti brambang procot (nama lain amarilis)," kata Sukadi.
Sejak Desember 2015, nama amarilis semakin terkenal dan Sukadi pun banyak dibantu oleh lembaga ataupun komunitas, karena rusaknya kebun bunga miliknya.
Bantuan itu digunakan untuk membeli umbi amarilis. Saat ini, di pekarangan seluas sekitar 3.000 meter persegi, ada sekitar 500.000 umbi.
Sementara itu, untuk mengantisipasi kerusakan akibat terinjak wisatawan yang akan berfoto, Sukadi menyiapkan jalur khusus.
Jadi primadona hingga ditiru orang lain
Selain di Patuk, dirinya mengembangkan umbi di kawasan kecamatan Tanjungsari. Di sana juga terdapat ratusan ribu umbi yang sudah disemai.
"Sekarang di sekitar sini, rumah-rumah penduduk mereka menanam amarilis, bisa dicek, setiap rumah pasti ada beberapa bunga amarilis. Awalnya gulma, sekarang menjadi primadona," ujar Sukadi.
Pada 2019 ini, mekarnya bunga amarilis tak begitu bagus, karena minimnya curah hujan di Gunungkidul.
Sukadi harus membeli air bersih dari tangki untuk menyirami bunga amarilis.