Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Timothy Marbun
News Anchor

News Anchor & Executive Producer Kompas TV

Cerita Perjuangan TKI di Singapura, Mengejar Asa hingga Meraih Sarjana

Kompas.com - 04/12/2019, 11:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Umi lebih terpicu lagi setelah salah satu adiknya berhasil lulus kuliah dengan bantuan dana dari Umi.

“Saya senang, tapi juga saya merasa ketinggalan, saya juga ingin pintar,” ujar Umi menambahkan.

Terbitlah terang

Harapan datang saat ia mendengar tentang pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh KBRI Singapura bersama Sekolah Indonesia Singapura (SIS).

Selain pelatihan keterampilan seperti menjahit, merias, memasak, dan komputer, kedutaan juga menyediakan program Kejar Paket A, B, dan C bagi siapapun Pekerja Migran Indonesia yang ingin menambah skill dan pengetahuan mereka.

Umi tidak menyianyiakan kesempatan ini. Karena meski ia hanya tamatan SD, ia merasa bisa memperoleh gelar sarjana seperti adiknya, asal mau belajar dan bekerja keras.

Pada tahun 2009, Umi pun mendaftar untuk bisa ikut Kejar (Kelompok Belajar) Paket B. Ia mengaku telah berusaha keras, tapi tetap sulit baginya untuk memahami pelajaran.

Iapun gagal. Namun, Ia mencoba lagi di kesempatan berikutnya, dan kembali gagal. Umi tidak menyerah dan mendaftar untuk ke-3 kalinya.

Umi akhirnya berhasil lulus, dan bahkan lulus dengan nilai terbaik di angkatannya. Tanpa ragu, ia langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti Kejar Paket C.

“Mengapa baru mendaftar di tahun 2009? Padahal sudah bekerja sejak 1994?” tanya saya.

"Karena dulu saya tidak punya hari libur,” jawabnya.

Sejak awal bekerja, ia tidak pernah mendapatkan libur rutin. Umi merawat lansia tujuh hari sepekan, hingga akhirnya aturan lokal mengharuskan atasan memberikan libur sedikitnya satu hari setiap pekan.

Inilah yang menjadi celah bagi Umi untuk mulai mengejar pendidikan yang selama ini hanya tampak bagai impian yang tidak pernah bisa diraih.

Sejak itu, setiap akhir pekan datang, Umi tidak lagi pergi bersama teman-teman sesama asisten rumah tangga ke taman dan “nongkrong”, duduk-duduk, dan makan-makan.

Akhir pekan Umi dihabiskan di ruang kelas SIS, mengejar pelajaran yang tertinggal, dan mengerjakan tugas kuliahnya. Keesokan harinya, ia kembali bekerja seperti biasa.

Umi bisa dikatakan cukup beruntung. Selama 25 tahun berada di Singapura, ia tidak pernah berganti atasan.

Meski awalnya hubungannya dengan keluarga yang memperkerjakannya sempat kurang akur. Namun, seiring tahun berjalan, Umi maupun atasannya akhirnya bisa saling memahami.

Keluarga yang memperkerjakannyapun mendukung kebiasaan Umi mencoba berbagai kelas keterampilan yang disediakan KBRI Singapura, dan bisa memahami kalau Umi harus tidur larut malam untuk membaca buku dan mengerjakan tugas kuliahnya.

“Kalau namanya jaga orangtua kan harus nempel terus, takutnya dia kenapa-kenapa. Jadi tiap hari tidak ada waktu sendiri. Jadi kalau belajar saya harus tunggu sampai mereka tidur baru saya bisa buka buku,” ucap Umi.

Bahkan setelah lansia yang dirawatnya meninggal dunia, Umi terus dipekerjakan oleh keluarga yang sama. Umi disarankan untuk terus melanjutkan pendidikannya.

Gagal

Dua kali gagal Kejar Paket B ternyata tidak menjadi satu-satunya cobaan bagi Umi untuk meraih pendidikan.

Saat mengambil program sarjanapun, Umi sempat mengalami musibah. Nilai-nilai Umi selama tiga semester hangus karena kesalahan administrasi.

“Saya stres, saya sempat benar-benar kecewa. Tapi saya pikir ya mau bagaimana lagi, sudah tidak bisa saya kembalikan satu setengah tahun itu. Saya enggak mau semua kerja keras saya sia-sia, ya saya ulang tuga semester itu,” ungkap Umi.

Akhirnya melampaui kekecewaannya, dan berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya dalam 11 semester.

Suaranya bergetar menceritakan apa yang ia rasakan saat menghadiri wisudanya sendiri di Jakarta.

“Sampai sekarangpun saya suka enggak percaya kalau saya jadi sarjana. Yang pasti saya tidak bisa melakukannya sendiri, banyak sekali bantuan dari SIS, dari kedutaan, dari tutor, dari teman-teman sesama pekerja migran yang juga kuliah sambil kerja yang saling mendukung berbagi ilmu,” kata Umi dengan mata berkaca-kaca.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com