Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Timothy Marbun
News Anchor

News Anchor & Executive Producer Kompas TV

Cerita Perjuangan TKI di Singapura, Mengejar Asa hingga Meraih Sarjana

Kompas.com - 04/12/2019, 11:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dengan senyum lebar, Umi, Pekerja Migran Indonesia asal Magelang menerima ijazah sarjananya.

Selama 5,5 tahun terakhir, Umi memberikan upaya terbaik untuk bisa menyelesaikan studi S1 nya.

Semua ini ia lakukan sambil tetap menjalankan tugas sebagai seorang seorang asisten rumah tangga di Singapura.

Umi Nadhiroh sebenarnya tidak pernah merasakan bangku SMP, SMA, apalagi kuliah. Besar di Magelang, Umi hanya berkesempatan meyelesaikan pendidikannya hingga tingkat sekolah dasar.

“Orangtua saya hanya bertani dan bekerja serabutan. Tidak sanggup membiayai sekolah saya,” cerita Umi yang kini berusia 45 tahun.

Umi sebenarnya merasa sangat berat untuk meninggalkan bangku sekolah. Tapi, ia mengaku saat itu memang tidak ada pilihan lain.

Meninggalkan pendidikan dan teman-teman sekolahnya, Umi kemudian mulai membantu orangtuanya dengan ikut kerja serabutan.

Bahkan ia sempat bekerja di usianya yang masih sangat muda, menjadi buruh di sebuah pabrik handuk, dan petugas kebersihan di sebuah pusat belanja.

Ide untuk menjadi Pekerja Migran (saat itu lebih umum disebut sebagai TKI - Tenaga Kerja Indonesia) ia dapatkan saat mendengarkan radio.

“Dulu kan di radio ada iklannya. Katanya bisa dapat penghasilan lebih besar kalau mau kerja di luar negeri jadi pembantu. Ya saya coba aja daftar,” ujar Umi.

Tidak ada teman atau kenalan yang mengajaknya, bahkan di kampungnya ia tidak mengenal seorangpun yang pernah menjadi TKI.

Umi berinisiatif sendiri untuk mencari informasi lebih jauh dan mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk dikirim menjadi perawat lansia (caregiver).

“Sebenarnya saya bilang, saya maunya dikirim ke Malaysia saja, karena saya tidak bisa bahasa Inggris, dan badan saya kecil. Tapi akhirnya saya malah ditempatkan di Singapura, ya saya terima saja,” ujar Umi.

Umi akhirnya berangkat pada tahun 1994.

Penghasilan Umi memang meningkat. Uang yang ia dapatkan dari pekerjaannya menjadi perawat lansia bisa ia gunakan untuk menyekolahkan ke-3 adik perempuannya, sekaligus untuk menghidupi kedua orangtuanya.

Hidup keluarganya membaik secara ekonomi. Namun ia mengaku, selalu ada sesuatu yang mengganjal.

Umi selalu merasa tidak cukup pintar.

“Saya merasa saya masih sering tidak bisa jawab kalau ditanya orang,” akunya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com