Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyintas Tanah Retak di Sukabumi Resah, Tanah Kembali Bergerak dan Rumah Retak

Kompas.com - 30/11/2019, 07:50 WIB
Budiyanto ,
Farid Assifa

Tim Redaksi

SUKABUMI, KOMPAS.com - Jumlah rumah rusak dampak tanah bergerak di Kampung Babakansirna, Desa Limusnunggal, Kecamatan Bantargadung, Sukabumi, Jawa Barat, terus bertambah. 

Letak permukiman yang dihuni mayoritas penyintas tanah bergerak tahun 1987 (sebelumnya ditulis 1984) ini berada di daerah kemiringan dengan lereng terjal. 

Jumlahnya sebanyak 47 unit dengan 57 kepala keluarga (KK) atau sekitar 200 jiwa.

Hingga Jumat (29/11/2019) terdata sebanyak 22 unit rumah mengalami retak-retak pada dinding dan lantai. Meningkat dari sebelumnya 15 unit rumah. Selain itu, bangunan masjid dan madrasah juga terdampak tanah retak.

"Sampai hari ini terdata sebanyak 22 rumah yang mengalami retak-retak. Lima rumah di antaranya berada di lokasi paling bawah dan sudah disepakati akan direlokasi," kata Ketua RT 03 RW 06, Ahmad Rosandi (37), kepada Kompas.com di rumahnya, Jumat (29/11/2019).

Dia menuturkan, selain ada tambahan rumah rusak, juga ada retakan baru di sekitar permukiman. Retakannya sepanjang 2 hingga 5 meter dengan lebar sekitar 5 hingga 10 centimeter dengan kedalaman sekitar 1,5 meter.

Baca juga: 15 Rumah Rusak, Ratusan Warga Bantargadung Sukabumi Dihantui Bencana Tanah Bergerak

Lokasi retakan baru berjarak sekitar 10 meter dari retakan yang lama. Retakan lama sudah kembali tertimbun tanah. 

Meski sudah tertimbun tanah, retakannya kembali terbuka. Padahal sejak memasuki musim hujan, di kampung ini belum pernah hujan turun dengan deras. 

"Ada dua lokasi retakan yang baru ditemukan. Ada yang dekat dengan retakan yang lama, dan ada yang di atasnya," ujar dia.

Maman (55), seorang warga yang mendampingi Kompas.com di lokasi tanah bergerak mengatakan, retakan baru ini mulai terlihat pada Kamis (28/11/2019) siang.

"Tadi Pak RT dan beberapa warga jam sembilan masih di lokasi ini. Terus masih banyak warga yang mau ke MCK, umum belum melihat ada retakan yang baru. Sepertinya retakan terjadi antara pukul 10.00 WIB hingga 11.00 WIB.

Menurut dia, dengan adanya retakan baru di permukiman, warga kian waswas dan khawatir. Ditambah lagi beberapa rumah dilaporkan retak. 

"Ini saja belum hujan turun deras di sini, warga sudah waswas. Setiap harinya yang diobrolin warga ya bagaimana nasib kampung ini. Kami sih berharap ada tim ahli yang cepat datang ke sini untuk meneliti," ujar dia.

Tanah ambles membentuk jurang

Rosandi menjelaskan, sebenarnya bencana tanah bergerak ini sudah terjadi sejak 2017. Saat itu, bencana itu menyebabkan satu rumah rusak dan lahan persawahan seluas sekitar satu hektar tergerus hingga ambles.

Pasca-bencana itu, lahan persawahan sudah tidak dapat digunakan kembali karena kontur tanah yang berantakan, ada yang ambles sekitar tiga meter, ada juga yang terangkat. 

Ditambah lagi hujan beberapa kali turun deras pada musim hujan tahun 2018. Sehingga lahan persawahan terus tergerus semakin tidak beraturan, pematang sawah pun menghilang.

"Kami manfaatkan lahan sawah ini ditanami pisang saja, daripada tidak bermanfaat," kata Rosandi saat meninjau lokasi persawahan yang kini menjadi kebun pisang bersama Kompas.com, Kamis (28/11/2019).

Bahkan ada lahan tanah persawahan yang ambles, terbelah dengan lebar bervariasi dan memanjang hingga puluhan meter. Pinggir-pinggirnya menjadi jurang-jurang atau gawir dengan kemiringan yang terjal dengan kedalaman 20 meter.

"Dulu di sini ada dua pohon kelapa, kini hilang setelah tanahnya tergerus. Batang pohonnya ditemukan sekitar dua puluh meter di bawahnya," ujar Rosadi sambil menunjukkan tangannya ke arah pohon kelapa yang berada di sekitar jurang.

Baca juga: Cerita Penyintas Bencana Tanah Bergerak: Ngeri, Waktu Hujan Deras Air Masuk Retakan Tanah...

Sekarang, lanjut dia, jurangnya yang menyempit terus semakin mendekati ujung permukiman. Selain merusak lahan sawah dan menumbangkan pepohonan, juga ditemukan mata air baru di sekitar tanah yang ambles.

"Di sebelah lahan sana, di bawah pohon durian terdapat mata air baru," ujar katanya sambil menyusuri di atas pinggiran jurang terjal dan menunjukan ujung jurang ke pohon durian yang juga sudah bergeser tempat.

Tanah Kampung Toblongan masih bergerak

Sementara lokasi bencana tanah bergerak di Kampung Toblongan pada April 1987 (sebelumnya ditulis 1984) berada di daerah lebih rendah dari Kampung Babakansirna. 

"Bukan 1984, kejadiannya saya ingat April 1987. Karena setelah kejadian itu anak saya lahir dan sepekan sebelumnya adik saya menikah di sini di rumah adik (Kampung Babakansirna),'' ungkap Aisyah (50) kepada Kompas.com saat berbincang di warung, Kamis (28/11/2019).

Saat ini, lokasi bekas tanah bergerak yang memporak-porandakan rumah-rumah dan lahan persawahan kembali dimanfaatkan menjadi lahan persawahan.

"Sekarang dijadikan sawah. Tapi biayanya lebih besar, karena setiap sehabis panen harus memperbaiki kondisi lahannya yang terus berubah," aku Apen (74) kepada Kompas.com saat berbincang di saung pembuatan gula arennya, Kamis (28/11/2019).

Hal senada diakui Cecep (39) bahwa lahan sawah milik keluarganya di Kampung Toblongan masih terus dilanda kerusakan. 

"Setelah panen padi kami harus selalu memperbaikinya, karena selalu saja ada perubahan. Apalagi bila hujan turun deras," aku Cecep di rumahnya.

Akibat bencana tanah bergerak, selain merusak rumah juga mengakibatkan luas lahan milik warga berubah. Ada yang luas lahannya mengecil atau menyempit dan ada juga bertambah.

"Lahannya yang menyempit itu karena tanahnya terdorong, sedangkan yang bertambah luasnya itu dilihat dari patok alam berupa pohon yang bergeser," tutur Apen.

Mayoritas mantan penyintas di Kampung Toblongan itu kini menempati Kampung Babakansirna. Mereka sebelumnya mengungsi ke kerabat atau keluarganya masing-masing.

Namun pada akhirnya sekitar tahun 1990-an satu persatu warga penyintas membangun rumah di lahan-lahan miliknya di kampung baru tersebut. Meskipun sebelumnya di kampung ini hanya terdapat tiga rumah.

"Di sini tuh awalnya hanya ada tiga rumah. Termasuk almarhun kakek saya tinggal di sini. Setelah bencana gerakan tanah di Toblongan, warga pada pindah ke sini," kata Rosandi yang saat kejadian berusia sekitar lima tahun.

Lima rumah akan direlokasi

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi menerjunkan tim satuan tugas (Satgas) ke lokasi tanah bergerak di Kampung Babakansirna, Desa Limusnunggal, Kecamatan Bantargadung, Rabu (27/11/2019).

Kepala Seksi Kedaruratan Eka Widiaman mengatakan, pihaknya mendapatkan laporan sekitar lima hari lalu mengenai adanya rumah roboh yang diperkirakan karena pergerakan tanah. 

Pihaknya melaksanakan pengecekan bersama Pemerintah Desa (Pemdes) Limusnunggal dan Kecamatan Bantargadung yang hasilnya ternyata terdapat lima rumah terdampak.

"Setelah kita cek bersama memang betul yang sudah mengungsi ada dua kepala keluarga dan tiga kepala keluarga masih bertahan,'' kata Eka kepada Kompas.com seusai pengecekan, Rabu petang.

"Hasil kesepatakan bersama pemdes dan kecamatan, kami prioritaskan kelima rumah ini harus cepat dievakuasi, direlokasi ke tempat aman," sambung dia.

Dia juga mengkhawatirkan menjelang musim hujan, pergerakan tanah tersebut akan terus berlangsung dan mengancam hunian. Meskipun demikian, untuk sementara sebagian rumah masih dianggap aman.

Hanya saja, Eka melanjutkan, pihaknya menyarankan agar saluran air diperbaiki. Karena bisa dilihat, di sepanjang jalan gang dan di depan rumah-rumah tidak ada saluran air yang sesuai. 

"Bila airnya tidak disalurkan dengan benar tidak menutup kemungkinan akan terjadi pergerakan tanah atau longsoran yang lain. Juga kami mengharapkan tidak boleh ada penebangan pohon keras," pesan Eka.

Diberitakan seelumnya sejumlah warga di Kampung Babakansirna, Dusun Cihurang, Desa Limusnunggal, Kecamatan Bantargadung, Sukabumi, Jawa Barat, dihantui bencana tanah bergerak. 

Terlebih lagi, mayoritas penduduk merupakan para penyintas (korban) bencana tanah bergerak di Kampung Cihurang Toblongan tahun 1984. Saat itu rumah-rumah dan lahan persawahan porak poranda.

Baca juga: Tanah Bergerak di Gunung Walat Sukabumi, Warga Mulai Mengungsi

Saat ini, tanda-tanda bencana geologi itu seperti tanah ambles dan retakan tanah dengan lebar, panjang dan kedalaman bervariasi terlihat di beberapa lokasi. 

Selain di permukiman, tanah retak juga terjadi di lahan pertanian. Sedikitnya 15 bangunan rumah rusak. Rata-rata rumah itu mengalami retak pada dinding dan lantai. Bahkan, satu rumah di antaranya terancam ambruk.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com