Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguak "Human Trafficking" di NTT: Berkedok Uang Sirih Pinang, Incar Anak Keluarga Miskin

Kompas.com - 27/11/2019, 10:10 WIB
Sigiranus Marutho Bere,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, pendapatan per-kapita warga TTS berkisar Rp 2 juta lebih, dengan penghasilan rata-rata per keluarga mencapai Rp 1,5 juta per bulannya.

Sebagian besar warga di kabupaten TTS bekerja sebagai petani penggarap lahan.

Baca juga: Diduga Mau Jadi TKI Ilegal, Keberangkatan Ratusan WNI Ditunda oleh Pihak Imigrasi

Pengakuan calo perekrut TKI ilegal

Seorang calo berinisial RT, yang diwawancarai Kompas.com di Soe, membantah kalau dirinya terlibat dalam kasus perdagangan anak dibawah umur.

RT mengaku, direkrut secara resmi oleh salah satu PJTKI di Kota Kupang.

Menurut RT, sebagai calo dirinya dijanjikan uang sebesar Rp 1 juta untuk satu orang calon TKI oleh perusahaan PJTKI.

Namun, ketika dia berhasil merekrut Dina Mariani Fallo dan Marlis Tefa, uang yang dijanjikan perusahaan tak juga diterimanya sampai dirinya sekarang mendekam di penjara.

Dia mengaku merekrut anak-anak perempuan sekadar menolong. Anak-anak perempuan ini, ucap RT, meminta pekerjaan karena mengaku sulit mendapatkan uang di kampung.

Baca juga: Tak Ada Sinyal Ponsel di Kampung Halaman Gubernur NTT

Desak Gubernur NTT untuk bertindak

Relawan Jaringan Solidaritas Anti Perdagangan Orang NTT dan Peneliti di IRGSC, Ardy Milik, mendesak Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, agar lebih fokus mengatasi masalah perdagangan manusia di NTT.

"Mengenai persoalan perdagangan orang. Kita menyangsikan kebijakan pemerintah NTT yang inkonsisten. Satu sisi hendak menindak tegas pelaku perdagangan orang, tetapi hingga kini tidak ada kejelasan penanganannya," kata Ardy.

Hal itu disampaikan Ardy, menyusul sejumlah pernyataan kontroversi yang disampaikan Viktor dalam berbagai kesempatan.

Menurut Ardy, ada beberapa masalah krusial yang menghantui NTT yang merupakan warisan dari kepemimpinan sebelumnya.

Masalah tersebut yakni tingkat ketiga terkorup, pendidikan terendah, provinsi termiskin, provinsi darurat perdagangan orang, angka kematian ibu, dan anak yang tinggi dan krisis air.

Menurut Ardy, Viktor harus menentukan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah itu selama periode kepemimpinannya.

Namun, Ardy menyebut masalah itu tidak akan bisa selesai begitu saja. Ia berharap, pemerintah fokus pengatasan yang melibatkan para pihak lintas sektoral, tidak sebatas hanya mendengar tim ahli, tapi tidak ada kebijakan berarti.

Semisal, nasib moratorium tambang dan moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia asal NTT hingga kini tidak ada kejelasan.

Ardy mengatakan, jumlah korban perdagangan manusia makin tinggi, akibat migrasi non prosedural berpuluh tahun lampau.

Pihaknya mencatat sedikitnya 2.000 kasus perdagangan orang. Anehnya, ada rencana mengirim 1.000 orang untuk menjadi pekerja di kebun kelapa sawit di Malaysia.

"Ada apa di balik ini? Kita mencurigai adanya kepentingan inventasi plus eksploitasi manusia yang dikirim dan okupasi lahan lahan strategis yang ditinggalkan," ujar Ardy.

"Sementara kita tahu bahwa ada 95.751 pekerja migran Indonesia (Migrant Care 2016-2017) di Malaysia, kemungkinan korban asal NTT di Malaysia akan berdatangan sampai 40 tahun ke depan," sambungnya.

Ardy menjelaskan, pada usia satu tahun kepemimpinan Gubernur Viktor dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi, masyarakat sipil berharap visi dan misi harus dijalankan tidak sebatas jargon tegas dan pernyataan kontroversial.

Pernyataan kontroversi oleh Gubernur NTT, seolah olah hendak menyelesaikan semua, tapi hanya selesai dalam citra yang tegas tidak menyentuh akar soal.

Karena itu, pemerintah NTT harus melibatkan para pihak lintas sektor dan mengakomodir kajian yang sering dihelat akbar di hotel berbintang.

Kebijakan yang mampu menanggulangi kemiskinan, korupsi, perdagangan orang, krisis air dan stunting yang tinggi di NTT.

Baca juga: PSI Lapor soal Korban Human Trafficking di China, Grace Bilang Jokowi Langsung Telepon Menlu

Upaya maksimal

Secara terpisah, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, mengaku prihatin atas banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal dunia di Malaysia.

Dia menyayangkan warga NTT memilih menjadi TKI ilegal di luar negeri karena menjadi TKI ilegal tidak mendatangkan keuntungan bagi para pekerja itu sendiri.

"Ini kan akibat mereka yang mau menjadi TKI ilegal. Jadi kalau mereka meninggal di sana, ya sudah kita tinggal kubur saja mereka, mau apalagi," kata Viktor kepada Kompas.com, Selasa (26/11/2019).

Viktor mengaku, pihaknya selama ini kesulitan mendeteksi keberadaan TKI ilegal asal NTT yang bekerja di luar negeri.

"Mereka kan TKI ilegal. Kita tidak tahu mereka tinggal di mana. Kalau tidak terdata, bagaimana kita mau tahu keberadaan mereka," ujarnya.

Menurut dia, kebanyakan TKI ilegal yang dikirimkan ke luar negeri kerap menjadi korban human trafficking. Kasus meninggalnya TKI ilegal tidak akan berhenti dari tahun ke tahun.

"Polisi Malaysia saja kewalahan karena saat dikejar, mereka terus menghindar dan kabur ke hutan," ujarnya.

Dia mengaku, guna menekan kasus human trafficking terjadi pada pekerja asal NTT, pihaknya akan berkoordinasi dengan BNP2TKI dan Kementerian Ketenagakerjaan.

"Sekarang ini kita tidak tahu sehingga kita tunggu saja kalau dia hidup makmur dan sejahtera kita ucapkan syukur alhamdulilah. Kalau meninggal ya kubur. Mau apa lagi, karena tidak ada upaya lain," ujar Viktor.

Baca juga: 3 TKI Ilegal asal NTT Meninggal di Malaysia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com