Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Wujud Radikalisme Menurut Mahfud MD dan Cara Deradikalisasi

Kompas.com - 26/11/2019, 15:15 WIB
Dewantoro,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Kasus bom bunuh diri di Mako Polrestabes Medan pada Rabu pagi (13/11/2019) melibatkan 30 orang yang terdiri dari 3 orang meninggal dunia, 3 orang perempuan dan 24 laki-laki.

Di antara mereka, ada beberapa yang masih muda, di umur 20 - 40-an. Kapolda Sumut, Irjen Pol Agus Andrianto beberapa waktu lalu menyebut mereka dengan kalangan milenial.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD mengatakan, ada tiga wujud radikalisme, yakni ujaran kebencian, jihad teroris,  dan wacana.

Ketiganya memiliki kebijakan untuk penindakannya masing-masing. Hal tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD di Medan, Selasa siang (26/11/2019).

Dijelaskannya, radikalisme yang berwujud ujaran kebencian itu menganggap yang berbeda harus dilawan dan disalahkan.

Radikalisme wujud jihad teroris, adalah bukan jihad yang benar karena biasanya (dilakukan dengan) membunuh, meledakkan diri. 

Baca juga: Ini Tiga Sebab Menguatnya Sikap Intoleransi di Indonesia Versi Polri

"Yang ketiga, wacana. Mungkin yang Anda maksud adalah untuk banyak anak milenial, itu ada kebijakan sendiri-sendiri. Untuk menindak yang ujaran kebencian biasanya disebut takfiri itu kan sudah ada undang-undang, ada fitnah, berita bohong, hoaks yahg sekarng banyak tersebar, penistaan, biasanya radikal dalam tahap ujaran kebencian. itu ada hukumnya," katanya. 

Begitu juga terhadap pelaku jihad teroris dan wacana. Menurutnya, terhadap para milenial, penanganannya melalui pendidikan, sosialisasi, halakah-halakah, pertemuan, diskusi kemudian tentu melalui kurikulum di semua lembaga pendidikan.

"Itu yang kemarin dituangkan dalam SKB 11 pejabat itu ada yang tindakan hukum, pendidikan, agama,  ada yang sosial dan macam-macam. Itu dalam rangka mengurangi radikalisme," katanya.

Mahfud menilai, saat ini radikalisme sudah mulai berkurang. Wacananya, kata dia, sudah dicounter sejak pemerintahan baru terbentuk.

"Kemudian tindakan-tindakan yang sifatnya jihadis,  yang sifatnya bom, sekarang sudah berkurang. tahun 2019 hanya ada beberapa kasus. Tapi 2017, 2018 kan banyak," katanya. 

Baca juga: Ini 4 Agenda Prioritas untuk Tingkatkan Toleransi dan Atasi Radikalisme Menurut Setara Institute

Penusukan Wiranto hingga bom Medan

Tahun ini, kata dia, kasus yang paling yang menonjol kasus penusukan Wiranto, kemudian ledakan bom di Kota Sibolga, serta yang terakhir ledakan bom bunuh diri di Polrestabes Medan.

"Tapi sekarang kualitasnya itu, berubah variasi tindakannya. Kalau dulu tindakan teror itu dilakukan oleh orang yang sudah tua, laki-laki dewasa biasanya. Tetapi yang sekarang perempuan ikut," katanya.

Dicontohkan Mahfud kasus bom di Sibolga, yakni ada perempuan yang meledakkan diri. Kemudian dalam kasus penusukan Wiranto juga ada perempuan juga terlibat.

"Yang di Jawa Timur perempuan, anak-anak juga terlibat," sambung Mahfud.

Baca juga: Pencegahan Radikalisme Jadi Materi Bimbingan Pranikah

Deradikalisasi

Untuk mengatasi bibit-bibit radikalisme itu, makanya dipandang perlu menerbitkan Surat Keputusan Bersama ( SKB) 11 menteri tentang penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara (ASN). Agar semua lini yang bisa menimbulkan radikalisme, bisa diatasi.

Tetapi ditegaskan SKB ini tidak bisa dikatakan kembali seperti masa Orde Baru. Melainkan upaya melakukan pengawasan.

"Kenapa harus kembali ke Orde Baru. Tidak! Artinya semuanya bisa terkontrol sekarang. Tidak bisa dong sekarang kembali ke zaman otoriterisme seperti itu. Sudah tidak mungkin. Bagaimana caranya?" katanya.

Baca juga: Warga Cilacap yang Ditangkap Densus 88 adalah Menantu Mantan Napi Teroris

Melibatkan napiter

Mahfud menegaskan, selama ini narapidana teroris (napiter) sudah dilibatkan dalam upaya deradikalisasi.

Misalnya Ali Imron. Dia selalu disuruh berpidato bahwa radikalisme berbahaya.

"Lalu ada Alif Fauzi juga dilibatkan oleh polisi berceramah sendiri bahwa terorisme itu berbahaya dan tidak menguntungkan siapapun jadi napiter ini dibina," katanya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com