Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Sebelum Aktivis Walhi Golfrid Ditemukan Tewas, Istri: Tak Biasanya Saya Masak Nasi Jadi Bubur

Kompas.com - 26/11/2019, 11:49 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Hari ini, tepat 52 hari kepergian Golfrid Siregar. Masih menjadi pembicaraan hangat di kalangan kawan-kawannya sesama aktivis. Kebanyakan dari mereka tak terima Golfrid hilang begitu saja dan harus menelan mentah-mentah pernyataan polisi bahwa dia korban kecelakaan lalu lintas.

Apalagi bagi Resmi Barimbing, perempuan bertubuh mungil ini mengaku belum bisa melupakan duka dan luka kehilangan belahan jiwa. 

Kompas.com menjenguknya pada pekan lalu di rumah Mak Tua (saudara perempuan dari ibu dalam istilah Suku Batak) Golfrid, di Jalan Bajak 1 Gang Peranginan Kelurahan Harjosari, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan.

Sepeninggal suaminya, perempuan 30 tahun ini memilih tinggal di kawasan ini dengan menyewa kamar berukuran 3 x 4 meter bersama anak dan adiknya. 

Baca juga: Misteri Kematian Aktivis Walhi Golfrid, Istri Ungkap Banyak Kejanggalan, Polisi Sebut Kecelakaan Tunggal

Untuk kebutuhan hidup, khususnya susu sang anak, dia harus pontang-panting menutupi. Bantuan ala kadarnya dari teman-teman Golfrid dan mereka yang bersimpati, dihematnya betul-betul.

Mau diputar menjadi modal bisnis perhiasan onlinenya yang terhenti, belum mencukupi. Tragisnya lagi, di tengah upaya mencari pekerjaan, dia sedang berjuang melawan sakit. 

"Masih terbayang semuanya, belum hilang.... Gak ada almarhum, akulah yang banting tulang..." ucap Resmi.

Tatapannya langsung kosong, jauh menerawang menuju 6 Oktober 2019 siang, ketika diminta menceritakan detik-detik terakhir perpisahan mautnya.

Baca juga: Polri Tegaskan Pelemparan Bom Molotov di Kantor LBH Medan Tak Terkait dengan Meninggalnya Aktivis Golfrid Siregar

Cerita nasi yang jadi bubur

Katanya, hari itu Golfrid sedang demam, dia pergi membeli obat ke apotik lalu pulang untuk makan siang.

Saat menyendokkan nasi ke mulut, Golfrid bilang, "Tengoklah ini, kayak plastik nasinya. Meleleh kali, sakit perut ku."

Resmi juga heran, tak biasanya dia memasak nasi seperti bubur. Lembek dan sampai meleleh ke luar rice cooker, lalu berkerak. Kerak inilah yang disebut suaminya seperti plastik.

Rupanya, hal serupa juga terjadi dengan nasi milik Mak Tua. 

"Berarti itulah tanda-tanda kejadian ini..." katanya menunduk. 

Usai makan, Resmi masih melihat suaminya meminum obat yang dibelinya.Tak lama, dia permisi hendak ke rumah Mak Tua.

Resmi sempat melarang pergi dan mengingatkan kalau sedang sakit, namun Golfrid bersikeras

"Sebentar aja, ada urusan," katanya menirukan ucapan Golfrid. 

Itulah percakapan terakhir mereka.

Minggu, 6 Oktober 2019 sore, Golfrid menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan.

Setelah tak sadarkan diri sejak ditemukan terkapar dengan tempurung kepala hancur pada Kamis (3/10/2019) sekira pukul 00.45 WIB di terowongan Titikuning, Kota Medan.  

Felicia Siregar, buah hati Golfrid dan Resmi, sampai hari ini setiap melihat mobil selalu memanggil bapaknya. 

"Bapak, bapak, kan bapaknya sering bawa mobil. Sampe ada tetangga bilang, 'e, bapak mu udah merantau, gak balik lagi" ujar Resmi menirukan ucapan tetangganya.

Kalau sesuai rencana, Desember ini mereka balik ke Batam, tinggal dan menetap di sana. Golfrid yang di saat terakhirnya sedang menyelesaikan Strata Dua di Universitas HKBP Nomensen Medan, ingin mengadu nasib menjadi anggota dewan di Batam. 

"Udah siap-siap kian, rupanya kejadiannya kayak gini, jadi dia yang pergi..." tutur Resmi menahan tangisnya.

Baca juga: Tiga Poin Kasus Meninggalnya Aktivis Walhi Golfrid untuk Polda Sumut

Keluarga Naibaho Minta Maaf...

Istri penarik becak yang saat ini menjadi tersangka pencurian barang-barang milik Golfrid datang menemui Resmi pada pertengahan November lalu. Atasnama Marga Naibaho, dia meminta maaf perbuatan suaminya.

Resmi tak menerimanya karena kecewa dengan tersangka yang tega mencuri padahal niat awalnya menolong. 

Sewaktu bertemu, istri tersangka mengatakan kalau suaminya tidak saling kenal dengan para tersangka lain.

Mereka bertemu di jalan sebagai penumpang becak. Namun sewaktu ke Polda Sumut bersama kuasa hukumnya melihat para tersangka, Resmi mengetahui kalau sesama tersangka saling kenal dan berteman. 

"Entah mana tau, orang ini semua dibalik semuanya. Mana tau ada bos orang itu lagi..." ucapnya pelan.

Cincin pernikahan, ATM dan STNK, dan telepon selular sampai hari ini belum ditemukan.

Telepon berukuran kecil dan belum android itu, kata Resmi, digunakan Golfrid untuk berkomunikasi, termasuk dengan dirinya.

Barang bukti yang ditemukan, masih disita polisi. Cuma sepeda motor dan helm sudah dipulangkan polisi. 

Baca juga: Menelusuri Kematian Janggal Golfrid Siregar Sang Ativis

Keanehan di rumah sakit

Sewaktu tiba di rumah sakit, Resmi menemukan suaminya tak sadarkan diri dengan kondisi kejang-kejang dan mengorok.

Saat memeriksa tubuh Golfrid, dia hanya melihat kedua mata bengkak dan lebam, serta satu luka sayatan di tangan kanan yang masih berdarah. 

"Tapi tangannya yang kena sayat itu terus bergerak-gerak, kayak mana kita motong ayam, kayak gitulah gayanya. Sambil ngorok dia..." katanya.

Selang oksigen sudah masuk ke dalam mulut dan hidung, dokter menyampaikan kalau darah sudah di keluarkan dengan cara disedot.

Resmi memang melihat, ada satu botol besar berisi penuh darah, sedang satu botol lagi masih berisi separuh. Kepanikan membuat lupa bertanya dari mana darah berasal, dia sibuk mengurus prosedur operasi ke sana-sini. 

"Udah masuk ruangan, tapi belum ditangani. Sorelah baru dioperasi..." kata Resmi sendu.

Soal luka di kepala, sewaktu pertama kali sampai di rumah sakit pada Kamis (3/10/2019) siang, dokter langsung menunjukkan foto-foto kondisi tempurung kepala yang hancur, belakang kepala pecah, dan pendarahan yang berlebihan lewat gawai. Dokter yang Resmi sudah lupa namanya itu mengatakan, semua luka di kepala itu yang akan dioperasi.

"Di dalam semua hancur, tapi di luar gak ada luka apa-apa, cuma di sinilah lecet sikit," ucapnya menunjukkan dahi kanan. 

Tak lama setelah menjalani operasi, Golfrid akhirnya meninggalkan dunia.

Saat jenazahnya hendak dibawa ke kampung halaman di Tigadolok, dokter memberikan foto-foto yang kondisinya sangat berbeda. Menurut Resmi, foto-foto itu tidak ada menunjukkan luka di kepala. 

Pada foto ditulis Mr X, lahir pada 3 Oktober 1981, pengambilan foto jam 7.45 WIB. Padahal, Golfried lahir pada 3 Oktober 1985 dan dioperasi pukul 17.00 WIB.

Foto yang benar adalah foto rontgen dada yang tertulis jelas nama dan tanggal lahir Golfrid, jam foto diambil sekira pukul 12.00 WIB, berdekatan dengan waktu operasi.

"Foto yang pertama, hancur semua. Tiga orang kami nengoknya, sama amang itu. Foto yang dikasi, beda kali, heran kami," katanya lugu. 

Perempuan berambut panjang ini langsung mengeluhkan rumah sakit yang melarang mengambil foto dan video apapun di dalam kawasan. Sampai sudah mayat pun, tetap dilarang, padahal pertinggal terakhir.

Satu kerabatnya nekat mengabadikan momen, ketahuan, gawainya diambil dan fotonya langsung dihapus.

"Sampe minta tolong aku ambilkan foto untuk kenang-kenangan anak ku, gak dikasi sama orang itu. Satu aja, kan udah meninggalnya, gak mau orang itu," ujar Resmi kesal.

Baca juga: Soal Kematian Aktivis Walhi Golfrid Siregar, Keterangan Polisi Dinilai Rancu

Mengadu ke Komnas HAM

Manager Hukum Lingkungan dan Litigasi Eksekutif Nasional Walhi Ronald M Siahaan yang dikonfirmasi Kompas.com pada Selasa 26/11/2019) pagi mengatakan, Resmi sudah mengadu ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM).

Dia memberikan semua bukti-bukti yang dibutuhkan, ditambah barang bukti lain yang didapat Komnas HAM saat turun ke Medan beberapa waktu lalu.

"Tapi, hasil pertemuan kemarin, data-data yang didapat staff Komnas HAM dari Medan dianggap kurang lengkap. Kemungkinan Komnas akan meminta secara tertulis atau mengundang pihak Rumkit Adam Malik ke Jakarta," kata Ronald.

Mentor sekaligus sahabat Golfrid ini berharap, ada kabar menyenangkan untuk Resmi dan anaknya, khususnya soal keadilan.

Baca juga: Kritik Bupati Via Facebook, Aktivis Walhi NTT Divonis 4 Bulan Penjara

Praperadilan dan misteri tewasnya Golfrid

Pengadilan Negeri Medan akan menggelar sidang pra peradilan tiga penyidik Polda Sumut yang terindikasi menghentikan penyidikan dugaan pemalsuan tandatangan saksi ahli Onriza, Selasa pagi.

Kasus ini bermula dari laporan ke Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum), soal tiga penyidik tersebut. 

Tandatangan dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara tersebut diketahui telah dipalsukan saat Walhi menggugat SK Gubernur Sumut tentang perubahan izin lingkungan dan perubahan lokasi PLTA Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE). 

Menurut Onriza, tidak hanya memalsukan tandatangan, pelaku juga menyalagunakan ijazahnya. Sampai hari ini pelaku belum diketahui identitasnya.

"Minggu lalu sidangnya ditunda karena tidak ada pihak Polda yang datang," ungkap Ronald.

Sekedar mengingatkan, Golfrid adalah Manager Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut.

Dia menjadi koordinator kuasa hukum Walhi Sumut menggugat SK Gubernur Nomor 660/50/DPMPPTSP/5/IV.1/I/2017 tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Pembangunan PLTA Batangtoru. 

Kematiannya masih meninggalkan misteri dan asumsi-asumsi liar. Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP) Quadi Azam menilai polisi belum hasil mengungkap janggalnya kematian Golfried.

SIKAP meminta kasus ini diusut lebih transparan dengan melibatkan elemen masyarakat sipil dengan membentuk Tim Pencari Fakta. 

Tim bekerja secara independen untuk menjaga akuntabilitas temuan fakta, mengungkap dalang pelaku pembunuhan (jika terbukti), hingga menghindari asumsi-asumsi negatif seperti tidak transparan, tidak profesional, dan tidak sesuai prosedur penanganan penyidikan dugaan tindakan.

Seperti tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. 

"Hal-hal ini, menurut kami justru dapat merugikan pihak kepolisian. Apa yang dialami korban merupakan ancaman nyata bagi para pembela HAM," kata Quadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com