Saat ini ia menerima gaji Rp 75.000 per bulan dan gaji tersebut baru ia terima 3 atau 6 bulan sekali.
"Saya mengabdi dengan tulus di sini. Satu hal yang paling penting adalah masa depan anak-anak. Kalau tidak ada yang mengajar di sini, masa depan anak-anak pasti suram. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa ini," kata Maria.
Baca juga: 7 Tahun Jadi Guru di Flores dan Digaji Rp 75.000 Per Bulan: Saya Mengabdi dengan Tulus
Bertha Bua'dera (56) guru honorer di SD Filial 004 Samarinda Utara harus jalan kaki setiap berangkat mengajar di salah satu kampung di pedalaman.
Bertha sudah 10 tahun mengajar di kampung kecil itu di bagian timur Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Bersisian dengan Desa Bangun Rejo (L3), Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara (Kukar).
Tak jarang dia menemukan ular saat melintasi jalan setapak menyusuri hutan.
Rutinitas itu dijalani Bertha selama 10 tahun sejak 2009.
Saat jadi guru honor pertama kali, Bertha menerima gaji Rp 150.000. Setiap berganti tahun, gaji Bertha naik Rp 100.000.
Hingga kini, ia memperoleh gaji Rp 800.000 setiap bulannya.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Bertha dan suaminya bertani dan berjualan di pasar malam,
"Biasa pulang sekolah saya jualan pisang, ubi, dan sayur-sayuran di pasar malam," kata Bertha kepada Kompas.com saat menyambangi sekolah tempat dia mengajar, Selasa (12/11/2019).
Bertha kadang mengeluhkan penghasilannya kepada kepala sekolah SD 004, tetapi diminta bersabar.
Baca juga: Cerita Guru Honorer di Samarinda, Ke Sekolah Jalan Kaki 2 Km, 10 Tahun Mengajar Digaji Rp 800.000
Ia mendapatkan insentif tambahan dari pemerintah melalui biaya operasional sekolah daerah ( Bosda) selama 4 bulan.
Bosda adalah janji politik pemerintah daerah terhadap guru honorer yang dimulai pada 2018.
Sesuai kebijakan tersebut, guru honorer di pedalaman mendapatkan Rp 1.500.000, guru honorer di wilayah terpencil mendapatkan Rp 1.100.000, dan guru honorer yang ada dalam kota mendapatkan Rp 700.000.
Pada Februari 2019, Samiyati diminta pihak Dinas Pendidikan untuk memasukkan data guru tidak tetap (GTT).
Namun, ternyata nama Samiyati dan beberapa guru lain yang terdaftar sebagai GTT dicoret dari daftar penerima Bosda dalam tahun anggaran 2019.
"Saya baru diberi tahu oleh kepala sekolah bahwa nama saya tiba-tiba tidak dimasukkan dalam daftar GTT yang akan menerima insentif tahun 2019. Ke manakah kami yang tidak digaji selama 11 bulan ini. Nama kami tidak muncul di daftar penerima Bosda 2019, bagaimana sudah nasib kami ini pak," kata Samiyati sambil menangis.
Baca juga: Kisah Samiyati, Guru Honorer di Ende, 11 Bulan Mengajar Tanpa Digaji
Bersama suaminya, Ebi Suhaebi (46), dia memodifikasi ruangan toilet sekolah menjadi tempat tinggal sejak dua tahun lalu.
Nining mengaku tidak bisa menyewa rumah dengan kondisi keuangan yang minim. Gaji sebagai guru honorer sebesar Rp 350 ribu tidak cukup untuk menyewa rumah.
Bahkan, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja masih kurang.