Barno (48) anak bungsu Sonto mengatakan tulang lengan ayahnya yang menggantung tertahan urat dan otot.
Untuk aktivitas sehari-hari, dia mengandalkan tangan kirinya.
"Niki patah. Mboten saget (Ini patah. Tidak bisa). Kulo dawah saking inggil (saya jatuh dari atas)," kata Sonto dengan suara parau.
Baca juga: Kisah Kakek Diwisuda pada Usia 85 Tahun, Murid Saat di SMP Jadi Dosen di Kelas hingga Raih IPK 3,5
Sonto muda dikenal sebagai penderes kelapa. Kala itu ia bisa memanjat 20 pohon nira miliknya. Sedangkan sang istri yang memasak nira jadi gula.
Produksi gula merah itu menjadi penghasilan utama bagi keluarganya,
Namun saat ini, Sonto dan istrinya mengandalkan cucunya untuk menyadp nira.
Sehari-hari Sonto mencari bahan bakar untuk produksi gula nira dengan mengandalkan tangan kirinya. Mulai pagi hingga sore ia mengumpulkan kayu bakar dan pelepah pohon pisang serta ranting kering.
Baca juga: Kisah Warga Pulau Ende, Turun Temurun Terpaksa Minum Air Sumur yang Rasanya Asin
Ia juga mencari pakan untuk kambing peliharaannya di sekitar desanya yang memiliki kontur tebing dan jurang.
Bahkan Sonto yang saat ini berusia 84 tahun masih bisa mengangkat pacul dan memecah batu.
"Niki ngangge genen (ini untuk pengapian tungku)," kata Sonto sambil tersenyum.
Selama sehari, Sonto dan Mukijem (80) bisa membuat maksimal 4 kilogram gula merah. Mereka akan mendapatkan uang Rp 50.000 setiap dua hari sekali dari penjualan gula merah olahannya.
Baca juga: Kisah Warga Pulau Ende, Turun Temurun Terpaksa Minum Air Sumur yang Rasanya Asin
Rumah Sonto berada di salah satu tebing yang curam. Rumah sederhana tersebut terbuat dari dinding kayu dan asbes.
Lantainya semen halus. Rumahnya tertata rapi dengan kandang kambing di depan rumah yang bersih.
"Rumah bikin sendiri. Dinding sendiri. Membangun sendiri. Lantai ini (semen) dibantu anak-anak," kata Mujikem.
Baca juga: Kisah Sugiarto, si Tukang Berantem yang Sukses Jual Sepatu ke AS