Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutan Larangan, Kampung Adat Cireundeu, dan Ancaman Pembangunan

Kompas.com - 20/11/2019, 09:57 WIB
Agie Permadi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

"Kenapa orang tua dulu mewariskan tentang tata wilayah tentang hutan larangan, tutupan dan baladahan itu adalah konsep dari leluhur atau formula yang sangat bagus sebetulnya untuk menjaga kesimbangan alam," tutur Jajat (42), penutur Kampung Cireundeu.

Menurut Jajat, Leweung larangan tak boleh ada campur tangan dari manusia manapun.

Apa yang ada di dalam Leweung itu akan dibiarkan tumbuh dan berkembang apa adanya.

Dijelaskan, orang Sunda mengenal leweung larangan dengan sebutan 'gentong bumi', yang memiliki arti tempat peresapan dan penyimpanan air.

Sehingga ketika musim hujan air tidak kelebihan dan musim kemarau air tak kekurangan.

"Secara adat ketika lingkungan atau hutan adat itu rusak maka akan berpengaruh pada perilaku masyarakat. Itu pasti akan terjadi di manapun masyarakat adatnya," kata Jajat.

Tentu bukan hal yang mudah untuk menjaga leweung larangan tetap asri. Secara geografis Kampung Cireunde berada di wilayah Kota Cimahi.

Sedang wilayah hutan larangan diapit oleh beberapa kampung dan daerah.

Pembangunan kota terus berkembang, masyarakat kampung Cireundeu khawatir, hal itu dapat mengikis habis dan mengancam keberlangsungan habitat hutan yang dijaganya sampai saat ini.

"Karena Cireundeu itu masuknya kota, yang namanya kota itu selalu membangun. Itu yang menjadi ancaman karena sebagian lahannya menjadi punya orang lain. Alih fungsi lahan, makanya sekuat  tenaga kami jaga. Itu mengapa masyarakat adat Cireundeu mensakralkan hutan larangan itu demi keberlangsungan kehidupan sekarang dan anak cucu nanti," ucap Jajat.

Menurut Jajat, dari sekitar 80 hektar hutan yang ada di sekitar Kampung Cireundeu, hanya 20-30 hektar hutan larangan.

Hutan larangan bisa dimasuki ketika ada upacara adat ataupun sesuatu yang mendesak.

"Seperti misalkan tiba-tiba kayak kemarin ada kebakaran hutan melihat wilayah mana yang terbakar. Ada upacara namanya netepkeun kawilayahan. Seandainya sudah rusak, kita harus masuk ke sana dengan syarat ada puasa adat. Kita masuk ke sana menanam untuk melihat tanaman mana yang bisa ditanam sebagai pengganti tanaman yang rusak," kata dia.

Mengganti tanaman pun tidak sembarang. Ketika bibit pohon datang dari luar, harus dikarantina selama empat hari, bahkan yang menanamnya pun harus punya tanggung jawab, mengawal tumbuh kembang bibit pohon sampai 40 hari.

"Sampai kelihatan bisa tumbuh kalau mati harus segera diganti. Jadi tidak boleh sembarangan orang menanam," ujar Jajat.

Tak hanya pembangunan, pembalakan liar dan perburuan pun menjadi ancaman hutan larangan karena dapat mengganggu biota yang ada di dalamnya.

Meski begitu, warga kampung adat tidak bisa berbuat banyak, karena hutan larangan diapit oleh beberapa kampung dan daerah.

Karenanya, pihaknya berharap pemerintah dapat menyosialisasikan larangan tersebut, meski papan informasi larangan perburuan dan perusakan hutan telah terpasang di sekitar hutan tutupan.

"Mereka hanya sebatas bangga dengan adanya kewilayahan ini, tapi tindakan nyatanya sih belum kelihatan. Harusnya memperkuat lagi dengan aturan tentang kewilayahan hutan adat, dan enggak harus ngirim bibit tanaman da hutannya juga ada. Yang kebakaran bambu, itu mah bisa tumbuh setahun lagi. Tapi gimana caranya pohon endemik yang harus tetap dijaga," ucap Jajat.

Kang Entri (35) dan anak lelakinya memasuki hutan tutupan di Gunung Puncak Salam di wilayah Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Lewigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Tampak dedaunan dan pepohonan kering akibat kemarau panjang dan kebakaran hutan.KOMPAS.COM/AGIE PERMADI Kang Entri (35) dan anak lelakinya memasuki hutan tutupan di Gunung Puncak Salam di wilayah Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Lewigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Tampak dedaunan dan pepohonan kering akibat kemarau panjang dan kebakaran hutan.
Menurut Jajat, hutan larangan ini masuk wilayah Gunung Gajahlangu. Di hutan tersebut, terdapat dua mata air yang masih utuh yang sebagian dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga.

Dua mata air itu dikenal dengan nama Nyi Mas Ende dan Caringin.

"Airnya istimewa, bisa langsung diminum," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com