Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutan Larangan, Kampung Adat Cireundeu, dan Ancaman Pembangunan

Kompas.com - 20/11/2019, 09:57 WIB
Agie Permadi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

"Ini hutan tutupan, boleh ambil hasil hutannya asal harus ditutup kembali atau ditanam kembali. Makannya di sini banyak kayu dan bambu yang ditanam. Kalau yang di bawah tadi leweung baladahan, itu wilayah pertanian," tutur Entri.

Beberapa ratus meter sebelum puncak, kami disambut rimbun pepohonan pinus. Panas siang itu pun berubah teduh, cahaya matahari menusuk di balik celah pepohonan.

Terlihat jalan setapak yang telah ditata, tali tambang yang terikat pada sebuah bambu menjulur panjang ke atas mengarahkan kami pada sebuah sawung kecil dari bambu beratapkan jerami.

Sejenak kami rehat, terduduk menghirup udara segar. Sementara napas kami tersengal, anak lelaki Entri terlihat masih lincah berlari, ia memungut sampah - sampah di sekitar lokasi.

Maklum, beberapa waktu lalu ada rombongan yang masuk dan naik tanpa ditemani warga lokal. Alhasil beberapa sampah terlihat berserakan di lokasi.

Warga Kampung Adat Cireundeu konsisten menjaga alamnya sejak turun temurun. Memang sampah yang berserakan tak terlalu banyak. Namun, bagaimanapun sampah menjadi momok yang dapat mengancam keasrian alam.

Entri kemudian mengeluarkan karinding dari tas anyamannya. Masyarakat adat terbiasa membawa karinding ketika masuk leweung.

Bagi mereka karinding merupakan alat musik dari alam yang dibuat dari 'awi' yang memiliki arti asal wiwitan.

"Jadi kita diingatkan jangan lupa ke wiwitan asal kita," kata Etri.

ia kemudian memainkan bambu kecil yang mengeluarkan suara itu. Suara nyaring berpadu dengan siulan burung, bisikan angin, dan gemerisik dedaunan.

"Memang amanat orang tua dulu juga kalau tujuh langkah sebelum puncak harus main karinding, Alam itu menyukai suara karinding yang beras dari alam itu sendiri," tuturnya.

Sebelum memasuki puncak, tampak sebuah gapura bambu berwarna kuning, hitam, putih, dan merah yang sengaja dibuat warga sebagai penanda, gapura tersebut membentuk segitiga.

"Warna-warna ini identitas kesundaan," ujarnya.

Baca juga: Tiga Kampung Adat yang Memukau di Lembah Jerebuu Flores

Sesampainya di puncak, rasa lelah itu pun terbayarkan, tampak panorama pemandangan Kota Bandung, Cimahi, dan wilayah Kabupaten Bandung yang dikelilingi pegunungan.

Entri kemudian menujuk puncak hutan larangan yang disakralkan warga kampung adat Cireundeu.

Seorang anak memasuki hutan tutupan di Gunung Puncak Salam wilayah Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Lewigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.KOMPAS.COM/AGIE PERMADI Seorang anak memasuki hutan tutupan di Gunung Puncak Salam wilayah Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Lewigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Tampak puncak hutan itu rimbun dengan pepohonan. Kompas.com langsung mengeluarkan kamera dan mengabadikan hutan larangan tersebut.

"Hutan larangan itu memang dilarang dimasuki manusia, wilayah itu disakralkan," kata Etri.

Sebelum kembali turun, sejenak kami rehat mengumpulkan tenaga yang sempat terkuras, sambil menikmati panorama di sawung yang berdiri di puncak dengan ketinggian kurang lebih 900 Mdpl.

Sementara Entri masih sibuk mengumpulkan serakan sampah di sekitar untuk ia bawa turun dari gunung.

Menjaga hutan

Kampung adat Cireundeu tak menutup diri ataupun melawan perkembangan zaman. Mereka bahkan cenderung menyesuaikannya.

Hal tersebut terlihat dari bangunan perumahan warga yang terbuat dari beton, penggunaan ponsel, dan alat elektronik lainnya.

Sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai pengajar, petani, bahkan bekerja di perusahaan.

Namun secara sosial, masyarakat adat memegang teguh akar budayanya, salah satunya menjaga menjaga kelestarian hutannya.

Bagi masyarakat, adat hutan atau leuweung larangan merupakan wilayah sakral yang harus dijaga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com