Begitu terus setiap hari. "Palingan hanya pulang istirahat siang 1 jam lalu pergi lagi mencari ramban," kata Barno.
Sementara itu, warga juga menilai aksi sosial pria kelahiran tahun 1935 ini baik. Nartono bercerita, Sonto suka terlibat dalam kerja bakti. Ia menunjukkan bahwa keterbatasan manusia bukan halangan. Sonto masih mampu mengangkat pacul hingga memecah batu.
Baca juga: Derita Anak yang Diperkosa Ayah Tiri, Masih Tertekan Setelah Lepas dari Jeratan
Soal sumbangan juga serupa. "Jiwa sosialnya besar. Saat mau ada kegiatan sadran, dia duluan menyumbang. Orang lain belum," kata Nartono.
Sonto menjalani masa muda sebagai penderes nira kelapa. Ia melakukan pekerjaan ini sejak masih bujang. Ia bisa memanjat 20 pohon di kebun miliknya setiap hari kala sehat bugar. Mujikem yang memasak nira jadi gula. Produksi gula merah ini menjadi penghasilan utama mereka.
Musibah jatuh dari pohon membuat rumit keadaan belasan tahun silam. Musibah mengakibatkan lengannya patah. Kini, suami istri ini mengandalkan cucunya untuk menyadap nira.
Sonto dan Mujikem kini menghabiskan sisa hari untuk membuat gula nira kelapa. Sonto mencari bongkok sebagai bahan bakar produksi gula. Mujikem memasak gula. Mereka berdua membuat 1-4 kilogram gula merah setiap hari. Mereka menghasilkan Rp 50.000 setiap dua hari.
"Palingan dapat uang 2 hari sekali dari gula" katanya.
Baca juga: Kisah Kakek Diwisuda pada Usia 85 Tahun, Murid Saat di SMP Jadi Dosen di Kelas hingga Raih IPK 3,5
Lengan patah itu kisah tentang kekerasan hati sekaligus keberanian, atau lebih tepat disebut kenekatan Sonto. Nartono, kerabat Sonto, menceritakan awal kecelakaan ketika Sonto berniat memotong dahan pohon waru yang menumpang pada dahan pohon mangga. Dahan itu tertahan sampai melengkung.
Sonto nekat memotong sekalipun Mujikem sudah mengingatkan bahwa daya tolak dahan pohon bisa berbahaya.
"Baru sekali tebas dahan langsung patah dan pohon langsung tegak. Dia ini terlempar melewati pohon durian dan berhenti karena terbentur pohon kajar," kata Nartono.
"Tingginya 9 meter," kata Sonto mengenang tragedi itu.
"Kejadian itu 2001. Saya dan kakak yang menolong pertama kali Pak Tua," kata Nartono.
Sonto masih setengah baya ketika itu. Ia dalam kondisi sadar setelah terjatuh. Tapi, ia muntah darah tak lama kemudian. Ia dilarikan ke RSUD Wates, lantas dirujuk ke Yogyakarta. Ia dirawat selama 3 bulan di sana.
Masa pengobatan itu menghabiskan harta. Ia terpaksa menjual kebun sekitar 3.600 meter persegi berisi pohon durian, manggis dan petai.
"Kebun dijual karena punya utang dan biaya kontrol terus ke RS. Belum lagi untuk makan. Dulu belum ada BPJS dan bantuan-bantuan lain. Informasi juga tidak mengalir cepat seperti sekarang," kata Nartono.
Baca juga: Derita Maria, Mengidap Penyakit Tumor Ganas, Ingin Sembuh Tidak Ada Uang untuk Berobat