Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pengungsi Gempa Maluku, Sengsara di Tenda, Dipungut Rp 100.000 untuk Nikmati Penerangan

Kompas.com - 13/11/2019, 16:38 WIB
Rahmat Rahman Patty,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

Sementara untuk kebutuhan bahan pokok, sejak sebulan lebih mengungsi keluarganya hanya mendapat bantuan beras, mi instan, telur dan juga air mineral.

Namun bantuan itu tidak setiap hari didapat.

“Kita dapat kadang beras 1 kg, kadang 2 kg dan paling banyak itu 5 kg tapi itu dua minggu sekali. Kalau telur itu dua butir lalu air mineral empat gelas, dan mi itu kadang empat bungkus kadang dua bungkus. Kalau yang lain tidak pernah dapat,” ungkap dia.

Para pengungsi mengaku terpal yang mereka terima saat ini sudah robek. Sehingga saat hujan tiba, banyak pengungsi yang kebasahan dan tidak bisa tidur di malam hari.

“Kalau hujan sering bocor tapi tidak tahu terpal itu diberikan ke siapa, kita tidak dapat itu,” kata pengungsi lain, Hamza Rehalat.

Sama dengan pengungsi lainnya, Hamzah juga menilai pembagian bantuan kepada para pengungsi selama ini tidak dilakukan secara merata.

“Pembagian bantuan bagi pengungsi d isini tidak benar, tidak merata karena lihat-lihat orang juga,” kata dia.

Ganti tenda

Saat ini banyak tenda pengungsi yang sudah bocor. Beberapa dari mereka menggantinya dengan atap rumbia.

Hal itu dilakukan karena mereka tidak tahan berada di dalam tenda saat siang hari karena panas, dan tidak ingin kebasahan saat hujan.

Naim Lessy  yang ditemui Kompas.com di lokasi pengungsian mengaku, dia dan keluarganya selama ini tidak betah berada di dalam tenda karena terlalu panas.

Selain itu kondisi terpal yang mulai sobek membuat dia terpaksa membuat  bedeng dari kayu di lokasi pengungsian.

“Kalau terpal kasihan anak-anak tidak bisa tidur, soalnya terlalu panas. Apalagi di dalam tenda itu kita berdesak-desakan,” ujar dia.

Baca juga: Di Hadapan Jokowi, Pengungsi Gempa Maluku Curhat soal Tenda Sobek

Naim mengatakan, saat ini para pengungsi yang rumahnya rusak akibat gempa telah didata oleh dinas sosial dan pemerintah desa setempat.

Namun, sejauh ini mereka belum mengetahui kapan bantuan pemerintah untuk membangun kembali rumah bisa dicairkan.

 “Kalau boleh segera diberikan agar kita yang rumah rusak bisa membangun rumah yang layak biar dari papan saja dulu,” kata Naim.

Pengungsi lainnya, Jefri Salamoni mengatakan, untuk membangun hunian sementara di lokasi pengungsian mereka  harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli kayu dan tripleks, serta atap rumbia.

“Tadinya mau cari gaba-gabah (pelapa sagu), tapi sudah habis jadi kita beli bahan sendiri dan kerja sendiri,” kata Jefri.

Dia mengaku banyak orang tua yang sakit-sakitan karena kondisi di lokasi pengungsian sangat tidak layak, sehingga memengaruhi kondisi kesehatan.

Apalagi banyak orang tua yang tidur berdesakan dalam kondisi kedinginan.

“Jadi kami putuskan bangun rumah sederhana ini, biar orang tua kita bisa tidur dengan lebih nyaman. Aoalnya kalau masih pakai tenda itu, kalau hujan dan angin kencang pasti basah,” ujar Jefri.

Setor Rp 100.000

Tidak hanya terpal dan tenda yang dikeluhkan, para pengungsi juga mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah soal penerangan di lokasi pengungsian.

Khusus di Desa Liang, warga yang ingin mendapatkan penerangan harus rela mengeluarkan uang mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 100.000, jika ingin mendapatkan layanan listrik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com