Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pengungsi Gempa Maluku, Sengsara di Tenda, Dipungut Rp 100.000 untuk Nikmati Penerangan

Kompas.com - 13/11/2019, 16:38 WIB
Rahmat Rahman Patty,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

AMBON, KOMPAS.com - Sudah lebih dari sebulan pengungsi korban gempa di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, menjalani kehidupan di tenda-tenda darurat.

Beberapa tenda darurat berada di hutan dan perbukitan desa.

Ribuan warga desa harus rela meninggalkan perkampungan dan memilih tinggal di tenda darurat, setelah rumah mereka roboh saat gempa bermagnitudo 6,8 yang mengguncang wilayah Pulau Ambon dan sekitarnya pada 26 September lalu.

“Mau bagaimana lagi kita harus ikhlas terima semua cobaan ini, kita tahu ini cobaan dari Allah,” kata Firda Sangaji, salah satu pengungsi, saat ditemui Kompas.com di lokasi pengungsian di perbukitan Rahaban, Desa Liang, Rabu (13/11/2019) sore.

Baca juga: Derita Korban Gempa Maluku dari Tenda Pengungsian, Sampai Curhat ke Jokowi

Firda mengisahkan, saat hari pertama mengungsi, keluarganya hanya tidur beralaskan tanah.

MSaat itu mereka begitu dihantui rasa takut karena gempa susulan terus terjadi. Mereka tidak berani kembali ke perkampungan untuk mengambil perbekalan.

Saat ini pun dia dan pengungsi lainnya masih sangat trauma untuk turun ke perkampungan, karena gempa susulan masih terus terjadi.

“Kalaupun turun ke kampung hanya cepat-cepat langsung balik lagi, karena saya takut di sana,” ujar dia.

Selama di lokasi pengungsian, Firda dan keluarganya menggantungkan hidup dari bantuan yang disalurkan.

Namun, meski bantuan terus berdatangan, mereka jarang mendapatkannya.

Dia mengaku sejak gempa pertama sampai saat ini mereka belum pernah ke bagian terpal yang dibagi di lokasi pengungsian.

Mau tidak mau, suaminya harus mengeluarkan uang untuk membeli beberapa terpal untuk dibuatkan tenda.

“Kalau beras, mi instan dan telur serta air mineral memang kita dapat dua minggu sekali. Tapi untuk kain, handuk dan selimut kita tidak pernah dapat itu semua. Padahal banyak bantuan yang masuk, tapi tidak apa-apa kita sabar saja,” ungkap dia.

Saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Firda berjualan kue di lokasi pengungsian.

Uang yang terkumpul digunakan untuk keperluan makan dan kebutuhan sekolah anaknya.

”Kalau tidak begini siapa yang mau lihat kita jadi harus berjualan,” ujar dia.

Pilih kasih

Beberapa pengungsi lain yang ditemui di lokasi pengungsian mengaku penyaluran bantuan selama ini sangat tidak merata.

Itu karena posko induk  yang mengelola pendistribusian bantuan kepada pengungsi baik dari pemerintah maupun relawan kerap pilih kasih dalam membagikan bantuan.

Fatima Lessy salah seorang pengungsi mengaku banyak sekali bantuan yang disalurkan ke posko induk di desa tersebut.

Sayangnya banyak pengungsi tidak kebagian bantuan.

“Dong (mereka) itu bagi lihat-lihat orang, kalau suadaranya mereka bagi sampai dua tiga kali, kadang mereka panggil diam-diam lalu kasih. Kalau kita yang bukan sudara begini saja,” keluh Fatima.

Menurut Fatima, untuk mendapatkan jatah terpal saja dia harus mengemis ke posko dan menunggu kurang lebih satu bulan lamanya barulah diberikan.

Padahal terpal dan kebutuhan lainnya tidak hanya didatangkan dari BNPB tapi juga relawan dan komunitas lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com