Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendiang Djaduk Ferianto, Menjawab Tantangan Zaman dengan Ngayogjazz

Kompas.com - 13/11/2019, 09:30 WIB
Michael Hangga Wismabrata

Editor

KOMPAS.com - "RIP. Djaduk Ferianto". Demikian tulis Butet Kartaredjasa dalam akun Instragram-nya, @masbutet, Rabu (13/11/2019).

Setelah itu, Butet juga mengunggah gambar tulisan "Sumangga Gusti" berwarna putih dengan latar belakang hitam.

Tulisan tersebut kurang lebih berarti mengikhlaskan kepergian sang adik, Greogorius Djaduk Ferianto, ke Sang Khalik. 

Seperti diketahui, Djaduk meninggal pada usia 55 tahun. Putra bungsu dari seniman Bagong Kussudiardja itu juga merupakan adik kandung Butet. Djaduk dikenal sebagai seniman mulitalenta dan total dalam dunia seni.

Salah satu sahabat dekat Djaduk, Debyo, membenarkan kabar tersebut. Seniman senior itu meninggal dunia pada Rabu dini hari, pukul 02.30 WIB.

"Ya, benar," ujar Debyo kepada Kompas.com, Rabu pagi.

Seniman multitalenta yang peduli budaya

Sejumlah karya yang fenomenal telah diciptakannya bersama grup musik binaanya, Kua Etnika dan Sinten Remen.

Dalam menciptakan lagu, Djaduk sangat piawai untuk memadukan unsur-unsur musik tradisional dengan modern. Hal ini membuat lagu karyanya memiliki khas tersendiri.

Pria yang memiliki nama Greogorius Djaduk Ferianto itu juga membuat lagu rohani, yaitu dalam album Dia Sumber Gembiraku.

Selain berkarya, Djaduk pun getol mengajak masyarakat untuk mencintai dan merawat budaya.

Pada tahun 2016, saat pentas bersama sejumlah artis Syaharani dan Ivan Nestorman, di pentas Maumere Jazz Fiesta Flores 2016 di Pantai Hutan Bakau Baba Akong, di Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Djaduk mengajak penonton dan warga setempat untuk menjaga budaya.

Baca juga: Djaduk Ferianto: Tradisi Tidak Mandek!

"Budaya dan musik daerah ini harus kita jaga bersama agar tetap lestari," ujarnya saat itu.

Tak hanya itu, dirinya bersama rekan-rekan seniman di Yogyakarta, juga menggagas festival musik Ngayogjazz, yang digelar di desa-desa.

Dalam festival itu, Djaduk sempat menggambarkan kepada Kompas.com, arti dari menghadirkan musik Jazz di desa-desa.

"Sekarang saya menjadi penggagas sebuah event dan punya beberapa ruang di festival seperti Ngayogjazz, Jazz Gunung, kemudian ada yang berskala dunia dan punya jaringan ke internasional, tetapi semua saya meyakini basik saya adalah tradisi. Kami melihat potensi yang luar biasa di tradisi itu, hanya memang persoalan yang muncul adalah tarik-ulur. Kami mempercayai tradisi kan selalu berkembang, jadi kami sangat membuka diri pada tradisi, karena kami juga tidak mau terkungkung dalam tradisi," katanya kepada Jodhi Yudono, penulis di Catatan Kaki Jodhi Yudono di Kompas.com, Kamis (24/10/2013).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com