Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Pahlawan, Mengenal Rasuna Said "Sang Singa Betina" dan Martha Christina Tiahahu Berperang di Usia 17 Tahun

Kompas.com - 10/11/2019, 08:58 WIB
Rachmawati

Editor

Setelah mengobarkan semangat perlawanan, pada 14 Mei 1817 diadakan pertemuan untuk memilih pemimpin perjuangan.

Kapiten Paulus Tiahahu dan kapiten-kapiten di sekitar Saparua lantas memercayakan komando kepada Kapiten Pattimura.

"Thomas Matulessy alias Pattimura adalah bekas sersan Mayor dari tentara milisi Inggeris," tulis Mattijs Sapija dalam Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia (1960: 201).
Hak atas foto Lightrocket/Getty Images
Image caption Penduduk Banda Neira menggunakan perahu 'Kora-Kora' saat melintasi perairan Banda. Kepulauan Maluku menjadi incaran penjajah Belanda dan Inggris karena kekayaan rempahnya.

Baca juga: Sepak Terjang Ruhana Kuddus, Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2019

Tapi, berdasarkan catatan literatur, dalam pertemuan itu Kapiten Paulus Tiahahu juga meluluskan keinginan putrinya untuk ikut serta bergabung dengan pasukan perjuangan Pattimura.

Bahkan, Paulus mengajukan permintaan khusus kepada Pattimura:

"Saya akan turut serta dalam gerakan perlawanan terhadap Belanda. Hanya ada satu permintaan, yaitu ijinkan anak saya Martha Christina ikut mendampingi saya dalam medan pertempuran. Ia telah memohon dengan sangat agar diperkenankan memanggul senjata saya dan terus mendampingi saya," kata Paulus sebagaimana dicantumkan dalam buku yang disusun L.J.H. Zacharias.

Baca juga: Menyandang Nama Pahlawan Nasional, RSUP Ambon Pertama di Indonesia Timur

Thomas Matulessy mengizinkan Martha ikut berjuang. Sejak saat itu, pada usia 17 tahun, Martha Christina Tiahahu mulai bergabung dalam gerakan perlawanan.

Humaidi, dosen program studi Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Jakarta, menilai itulah tonggak sejarah dalam perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah Belanda.

"Bayangkan, seorang remaja perempuan di dalam masyarakat patriarkat, turut bertempur. Itu tidak hanya menunjukkan kegigihan Martha Christina, tapi juga semangat rakyat Maluku yang mengerahkan segala kemampuan untuk berjuang. Tidak lagi pandang gender dan agama," kata Humaidi, sekaligus merujuk beberapa teman seperjuangan Pattimura yang beragama Islam dan Kristen.

Baca juga: Tahap Pertama, Pembangunan Museum Pahlawan di Salatiga Dianggarkan Rp 1,9 Miliar

Sekelompok pemuda Maluku memperagakan tarian Cakalele. Tarian yang sama dilakoni Martha Christina Tiahahu saat melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Antara/JIMMY AYAL Sekelompok pemuda Maluku memperagakan tarian Cakalele. Tarian yang sama dilakoni Martha Christina Tiahahu saat melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Perlawanan Martha Christina dan beragam elemen pasukan yang dikomandoi Pattimura berhasil.

Benteng Duurstede jatuh ke tangan pasukan Pattimura pada 17 Mei 1817.

Akan tetapi, Belanda melawan balik. Beberapa bulan kemudian, Belanda menangkap Pattimura dan melancarkan serangan umum. Martha memimpin pasukan tempur perempuan dengan ikat kepala melingkar.

"Dalam suasana pertempuran bukan saja ia telah menolong memikul senjata ayahnya, tetapi juga telah ikut serta dengan pemimpin perang mengadakan tarian perang dan telah memperlihatkan kecakapan, keberanian dan kewibawaannya," ujar perwira Belanda Verheul yang dikutip L.J.H Zacharias dalam bukunya.

Baca juga: 4 Oktober 1965, 7 Jenazah Pahlawan Revolusi Dievakuasi dari Sumur Lubang Buaya

Beberapa kapiten ditangkap, termasuk Paulus Tiahahu dan anaknya Martha.

Dalam pemeriksaan pada 15 November 1817, Paulus dijatuhi hukuman mati.

17 November, Paulus Tiahahu dieksekusi hukuman mati di Nusa Laut. Adapun Martha Christina, karena umurnya dianggap masih muda, tidak dijatuhi hukuman mati. Martha berusaha membujuk para pejabat Belanda agar dirinya menggantikan ayahnya dalam menjalani hukuman.

Baca juga: Jejak BJ Habibie di Kota Pahlawan Surabaya

Akhir Desember 1817, kapal Eversten mengangkut Martha Christina ke Pulau Jawa untuk diperkerjakan secara paksa di perkebunan kopi. Dia mogok makan, mogok pengobatan dan menolak berkomunikasi.

Kesehatannya memburuk dan wafat pada 2 Januari 1818 dalam perjalanan ke Jawa, tepatnya di antara Pulau Buru dan Manippa. Jasadnya dibuang di Laut Banda.

Surat Keputusan Presiden RI Nomor 012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai pahlawan nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com