Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id; Magister Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia dan Pelestari Tradisi Lisan;  Pengurus Lesbumi PBNU 2022--2027. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas, serta menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Menjaga Asa Pelestarian Tradisi Lisan

Kompas.com - 08/11/2019, 19:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika negara berupaya memajukan kebudayaan, gempuran datang dari “kelompok” yang mengusung pemurnian ajaran agama. Tradisi dianggap bid’ah. 

Celakanya, radikalisasi tidak pernah berdiri sendiri. Radikalisasi menjadi gerakan politis yang membawa-bawa agama demi menggayuh kekuasaan. Politik identitas dimainkan. 

Meski demikian, tradisi lisan di sejumlah tempat sebetulnya tidak benar-benar mati. Pembina Asosiasi Tradisi Lisan, Mukhlis PaEni menceritakan beberapa tradisi lisan yang pernah hidup, lalu mati suri sekian lama, bisa kembali lagi, meski dalam bentuk yang berbeda.

Perubahan tradisi-tradisi itu terkait dengan perubahan tatanan yang besar dalam masyarakat.
Ia mencontohkan Bissu di Wajo dan Luwu Sulawesi Selatan yang mati, lantas kini muncul lagi dalam kemasan yang berbeda.

Beberapa Bissu yang ditemui Mukhlis kini telah mengenakan jilbab dan berganti nama menjadi Hajjah Jannah, Haji Vera, dan Haji Hasnah. Mukhlis melihat bahwa tradisi itu selalu menyesuaikan dengan irama zaman, namun tidak lantas berubah konten dan filosofinya.

Sejatinya tiap-tiap daerah memilki pengalaman yang berbeda dalam menyikapi perubahan tatanan masyarakat dan tekanan lain. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, tradisi lisan Rodat makin hilang karena para senimannya makin enggan mementaskan.

Di Aceh, seperti dikatakan oleh Ketua ATL Aceh Rusjdi Ali, terjadi kompromi antara ulama dan pelaku tradisi lisan. Penyelenggaraan wayang boleh, tapi tidak lagi semalam suntuk.

Tarian panggung boleh, tapi lelaki semua atau perempuan, tidak dicampur laki-laki dan perempuan dalam satu tarian.

Sementara itu di beberapa daerah di Jawa, pertunjukan wayang justru mulai ditentang, seperti terjadi di Solo pada tahun 2011 ketika satu ormas meminta pertunjukan dihentikan.

Dua tahun lalu muncul spanduk pelarangan wayang di Jakarta, karena dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam. Kendati akhirnya berakhir kompromistis, kejadian-kejadian itu dikhawatirkan makin membuat masyarakat antipati dengan tradisi.

Ditambah lagi, banyak tradisi lisan sekarat karena maestronya tidak mau melakukannya lagi.
Sampai di sini, mencermati persoalan di atas, kompromi-kompromi perlu dilakukan.

Pertama, adalah kompromi anggaran, yakni anggaran dari pemerintah yang mampu menghidupkan tradisi lisan serta para maestronya.

Kedua. adalah kompromi nilai, yakni antara pelaku tradisi lisan dan kalangan pemuka agama, dengan tidak mematikan tradisi itu.

Ketiga, adalah kompromi komitmen, yakni para maestro/pelaku tradisi lisan dengan para pewarisnya serta masyarakat untuk bersama-sama menjaga tradisi jangan sampai punah.

Di sisi lain, masih hidupnya tradisi-tradisi di Nusantara tidak lepas dari peran Asosiasi Tradisi Lisan sebagai lembaga nonpemerintah yang mampu berpartner dengan pemerintah dalam menjalankan program.

ATL sejak 1993 telah menggelar seminar internasional dan festival tradisi lisan selama sebelas kali, turut merawat para pelestari tradisi lisan, memberi beasiswa S2 dengan bekerjasama dengan lembaga donor, dan berbagai kegiatan lain.

Ke depan, festival tradisi lisan seharusnya bisa dilakukan di tempat asal tradisi itu dilakukan agar ruhnya tidak tercerabut. Bukan para pelaku tradisi yang dibawa ke panggung, tapi kita yang datang kepada mereka. (Susi Ivvaty) 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com