Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Penjajah Saja Bangunkan Jembatan, Kenapa Pemerintah Sendiri Tak Sudi?"

Kompas.com - 04/11/2019, 07:00 WIB
Puthut Dwi Putranto Nugroho,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

GROBOGAN, KOMPAS.com - Salah satu desa terpencil di wilayah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, mengungkapkan bahwa mereka sangat membutuhkan jembatan untuk akses penghubung antar kecamatan. 

Selama ini, ribuan masyarakat yang berdomisili di Dusun Sidorejo, Desa Karangasem, Kecamatan Wirosari, harus berputar hingga 40 kilometer untuk menuju Dusun Peting, Desa Bandungsari, Kecamatan Ngaringan.

Begitu juga warga di lokasi sebaliknya.

Padahal, waktu tempuh perjalanan darat hingga satu jam tersebut bisa dipersingkat apabila ada jembatan sepanjang lebih kurang 50 meter yang membelah sungai di lokasi setempat.

Musim kemarau adalah saat-saat yang menguntungkan bagi para warga di pelosok Kabupaten Grobogan tersebut.

Saat kemarau, sungai yang menjadi pemisah antar dua kecamatan tersebut airnya surut, bahkan kering.

Baca juga: Kisah Kudus, Pria yang 10 Tahun Hidup Tanpa Listrik di Jakarta

Kesempatan ini pun dimanfaatkan warga dengan melintasi dasar sungai itu untuk akses perekonomian dan sebagainya, ketimbang harus memutar puluhan kilometer.

Warga sebenarnya secara swadaya memasang jembatan darurat sepanjang 15 meter yang menghubungkan dua kecamatan tersebut.

Namun, jembatan itu hanya efektif saat kemarau.

Sebab, saat musim penghujan, jembatan itu perlahan tenggelam oleh debit air sungai yang kian penuh.

Jembatan selebar setengah meter yang berkonstruksi kayu usang tersebut kondisinya sangat tidak layak.

Harus ekstra berhati-hati saat melewati jembatan tanpa pembatas itu. Bahkan, berkali-kali pengendara yang tak waspada, terpeleset jatuh ke dasar sungai yang mengering itu.

Jembatan darurat itu tak sepenuhnya menghubungkan dua kecamatan tersebut. Warga masih harus melewati medan menanjak dan menurun dari sungai yang telah menjadi daratan.

"Kami butuhnya jembatan besar yang berada di atas sungai, dengan panjang sekitar 50 meter. itu baru menghubungkan dua kecamatan," kata Darsono, perangkat Desa Bandungsari saat ditemui Kompas.com di lokasi jembatan darurat, Sabtu (2/11/2019).

Belum ada respons pemda

Menurut Darsono, ribuan warga desa dari dua kecamatan itu sangat membutuhkan keberadaan jembatan yang menjadi sarana penghubung.

Sebab, jembatan itu adalah satu-satunya akses tercepat yang mendukung kebutuhan warga. 

"Jembatan yang diminta adalah akses perekonomian, pendidikan dan akses menuju jalan raya menuju perkotaan. Dari dua desa di kecamatan ini, mayoritas bekerja petani dan perajin batubata genteng," tutur Darsono.

Menurut Darsono, pihaknya sudah berkali-kali mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah untuk realisasi jembatan penghubung antar kecamatan tersebut.

Namun, hingga saat ini belum ada tanggapan atau kepastian yang diterima.

"Kami berharap pemerintah atau Pak Presiden Jokowi sudi membangunkan jembatan untuk kami. Kami sudah sangat lama mengajukan pembuatan jembatan hingga berkali-kali, namun tak ada respons. Baik DPR maupun Pemkab Grobogan tak ada kepastian hingga saat ini," kata Darsono.

Baca juga: Kisah Perjuangan Warga di Belu, Berburu Air untuk Bertahan Hidup

Jembatan peninggalan Belanda

Tokoh masyarakat Desa Karangasem, Sujono (60) mengatakan, puluhan tahun lalu saat ia masih anak-anak, warga di desanya tak merasa kesusahan, karena sudah terbangun jembatan sepanjang 50 meter yang menghubungkan Kecamatan Wirosari dan Kecamatan Ngaringan.

Hanya saja, keberadaan jembatan peninggalan zaman Belanda tersebut perlahan menghilang setelah hanyut terseret derasnya arus sungai.

"Puluhan tahun lalu ada jembatan sepanjang 50 meter peninggalan Belanda. Namun hanyut dibawa sungai. Belanda si penjajah saja bangunkan jembatan, masak pemerintah sendiri tak sudi bangunkan jembatan," kata Sujono.

Sementara itu, warga Desa Karangasem, Suyatmin (43) mengatakan, sejak remaja ia mengelola industri rumahan batubata dan genteng.

Bisnisnya tersebut selalu terkendala akses jalan yang tidak memadai.

Suyatmin merasa lebih boros waktu dan finansial akibat tak ada jembatan.

"Harus putar puluhan kilometer. Habis di waktu dan ongkos bensin. Padahal di desa kami terkenal sebagai penghasil batubata dan genteng berkualitas. Kami berharap pemerintah bisa membangunkan jembatan bagi kami. Jembatan adalah harapan kami," ungkap Suyatmin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com