Alih-alih seperti itu, ia mengatakan ide pemekaran ini berasal dari ide 61 orang Papua yang diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara pada September lalu.
Di sisi lain, menurut Saleh Sangadji, salah satu dari 61 orang yang diundang presiden itu, pemekaran wilayah Papua Selatan penting untuk mendekatkan masyarakat wilayah itu dengan birokrasi.
Baca juga: Rencana Pemekaran Tanah Papua yang Menguat...
Saleh, warga Kabupaten Mappi, mengatakan saat ini perwakilan masyarakat Papua Selatan sangat minim di level pemerintahan, termasuk di tingkat provinsi di Jayapura.
Padahal, katanya terdapat perbedaan budaya antara masyarakat di Papua Selatan dengan mereka yang tinggal di utara.
"Kami orang Selatan hampir tidak ada orang di birokrasi. Jangankan birokrasinya, tukang sapu pun tidak ada," ujarnya.
Dengan pemekaran daerah, ia berharap sarjana-sarjana asli Papua Selatan dapat menduduki posisi-posisi di pemerintahan dan menekan angka pengangguran di wilayah itu.
Saleh menambahkan, ia yakin pemekaran wilayah akan membawa peningkatan ekonomi, juga kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Baca juga: Mahfud MD: Pendekatan Militer di Papua kalau Diperlukan, Misalnya Ada Separatisme...
Ia mengatakan yang dibutuhkan bukan pemekaran wilayah, tapi manajemen dana otonomi khusus yang lebih baik agar kualitas perekonomian, pendidikan, hingga kesehatan di suatu wilayah dapat membaik.
"Saya lebih setuju kalau yang dibuat bukan pemekaran, tapi basis pendidikan di masing-masing daerah di Papua. Misalnya di Papua ada tujuh wilayah adat, kalau bisa di setiap wilayah adat dibangun universitas," kata Diego.
Baca juga: Rencana Pemekaran Provinsi Papua Selatan, Sri Mulyani Siap Atur Anggaran
"Itu lebih urgent dari pembagian wilayah administrasi yang sebenarnya tidak dirasakan (manfaatnya) oleh masyarakat."
Sementara itu, tokoh pemuda Papua George Saa menilai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, pemerintah perlu menyelesaikan empat akar permasalahan di Papua, seperti yang disebut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakni terkait: sejarah dan status politik,
pelanggaran HAM dan kekerasan negara, kegagalan pembangunan; diskriminasi dan rasisme.
"Satu atau dua saja diselesaikan. Beliau (Presiden Jokowi) kan sudah dua periode menjabat," ujarnya.
Baca juga: Tantangan Digitalisasi Sekolah di Papua, Perhatikan Dua Faktor Ini
Namun, saat ini Nduga adalah wilayah termiskin di Papua.